![]()
Repelita Jakarta - Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Anggawira menilai langkah Presiden Prabowo Subianto yang memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong merupakan keputusan penting yang mewarnai awal masa pemerintahannya.
Menurut Anggawira, kebijakan ini bukan sekadar instrumen hukum belaka, tetapi juga menandai kematangan sikap kenegaraan dalam merespons ketegangan politik dan kegelisahan sosial.
Dalam keterangan tertulis pada Jumat, 1 Agustus 2025, Anggawira menyebut langkah tersebut menunjukkan keberanian kelompok pro-keadilan di lingkar pemerintahan Prabowo.
Mereka dinilai tidak memandang hukum hanya sebagai teks kaku, melainkan sebagai sarana mewujudkan keadilan substantif dan merawat nurani publik.
Anggawira menjelaskan bahwa konstitusi melalui Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 memang memberi Presiden hak memberikan amnesti dan abolisi dengan persetujuan DPR.
Karena itu, dari sisi legalitas, tidak ada pelanggaran prosedur yang terjadi setelah parlemen memberikan persetujuan resmi.
Namun, tambahnya, yang terpenting adalah bagaimana kebijakan ini mencerminkan kepekaan politik dan kehendak memperbaiki relasi antara hukum dan rasa keadilan publik.
Ia mengungkapkan bahwa amnesti kepada Hasto Kristiyanto, misalnya, bukan hanya membebaskan proses pidana semata, melainkan juga meredakan ketegangan publik yang menilai kasusnya sarat kepentingan politik.
Anggawira menilai proses hukum yang menjerat Hasto tidak lagi relevan untuk tujuan pemberantasan korupsi secara esensial, justru cenderung memunculkan ruang politisasi yang memperkeruh tatanan hukum.
Menurutnya, dengan amnesti ini, pemerintah memperlihatkan keberanian mengoreksi kebijakan hukum agar tetap berakar pada nurani publik dan logika keadilan.
Sementara terkait abolisi untuk Tom Lembong, Anggawira melihat kasus ini sebagai contoh peradilan yang kehilangan dasar penegakan hukum pidana karena unsur niat jahat atau mens rea tidak terpenuhi.
Ia menilai publik pun menangkap sinyal kriminalisasi kebijakan yang seolah dipaksakan, sehingga abolisi menjadi cara mengembalikan logika keadilan ke jalur yang wajar.
Ia menekankan bahwa langkah semacam ini sejalan dengan praktik di banyak negara demokrasi yang menggunakan amnesti dan abolisi sebagai instrumen rekonsiliasi.
Sebagai contoh, ia menyinggung Afrika Selatan yang memberi amnesti pasca-apartheid, Kolombia yang mengampuni kelompok bersenjata demi perdamaian, serta reunifikasi Jerman yang menempuh pendekatan serupa demi integrasi nasional.
Anggawira pun menekankan pentingnya menjaga transparansi dan akuntabilitas agar kebijakan ini benar-benar menjadi tonggak rekonsiliasi, bukan sekadar simbol politik.
Ia menilai di tengah apatisme publik, kebijakan ini dapat menjadi sinyal bahwa pemerintah berani memulihkan kepercayaan dengan mengedepankan akal sehat, keadilan, dan keutuhan bangsa.
Dengan rekonsiliasi di tingkat mikro ini, Anggawira berharap arah baru pemerintahan bisa terwujud dalam bentuk konsolidasi nasional yang mengikis polarisasi dan memperkuat stabilitas politik.
Ia optimistis jika dijalankan konsisten, kebijakan hukum seperti amnesti dan abolisi ini dapat membuka ruang bagi pembangunan politik berbasis kepercayaan publik, bukan kecurigaan.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

