
Repelita Jakarta - Kabar penetapan Mohammad Riza Chalid sebagai tersangka kasus Pertamina kembali mengingatkan Akbar Faizal pada skandal besar yang pernah terjadi di DPR.
Politikus senior itu mengenang keterlibatannya dalam membongkar kasus 'Papa Minta Saham' di Mahkamah Kehormatan Dewan.
Ia menyebut nama Riza Chalid sebagai salah satu tokoh yang menjadi fokus bidikannya saat itu.
“Kasusnya memang bukan di Pertamina, tapi di Freeport. Saya dipecat dari MKD saat itu,” kata Akbar melalui akun X @akbarfaizal68 pada 11 Juli 2025.
Akbar mengisahkan, kala itu dirinya tengah bersemangat mengungkap skandal besar yang juga menyeret nama Setya Novanto.
Namun, secara tiba-tiba ia dicopot dari MKD hanya beberapa jam sebelum sidang putusan yang disiarkan langsung di seluruh televisi.
“Saya yang sedang bersemangat membongkar kasus itu tiba-tiba dinyatakan bukan lagi anggota MKD. Fraksi saya, NasDem, menunjuk Victor Laiskodat sebagai pengganti saya,” ujarnya.
Akbar menyebut, dirinya sejak awal memang dipilih NasDem karena dianggap kurang ajar saat mengusut kasus.
“Pertimbangan Surya Paloh saat itu, kekurangajaran saya dibutuhkan. Ya sudah, saya kurang ajar beneran di MKD. Eh, dipecat juga oleh persekongkolan kekuatan politik di DPR yang gelisah melihat tingkah saya,” ungkapnya.
Ia mengaku kala itu merasa sangat dekat untuk menjerat pelaku-pelaku utama dalam kasus tersebut.
Bahkan, kata Akbar, ada seorang saksi yang bersikap songong ketika diperiksa.
“Kucecar dia. Tampaknya dia merasa kehormatannya sebagai pejabat tinggi terusik dengan pertanyaan-pertanyaanku. EGP!,” ujarnya tegas.
Akbar turut menyebut peran penting Sudirman Said, Said Didu, dan Jusuf Kalla dalam membantunya dengan data serta informasi.
“Pokoknya seru deh. Ternyata saya pernah jadi anggota DPR. Kadang lupa,” katanya.
Di sisi lain, Kejaksaan Agung resmi menetapkan Riza Chalid sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak periode 2018 hingga 2023.
Pemilik PT Orbit Terminal Merak itu diduga menghapus skema kepemilikan aset dalam kontrak kerja sama dengan PT Pertamina (Persero).
Penetapan Riza Chalid tertuang dalam Surat TAP-49/F.2/Fd.2/07/2025 dan Surat Perintah Penyidikan PRIN-53/F.2/Fd.2/07/2025 tertanggal 10 Juli 2025.
Direktur Penyidikan Kejagung Abdul Qohar menyebut, MRC bersama HB, AN, dan GRJ telah menyepakati kerja sama penyewaan Terminal BBM Tangki Merak.
Dalam kerja sama itu, mereka diduga menghilangkan klausul kepemilikan aset dan menetapkan harga kontrak yang jauh di atas kewajaran.
Padahal dalam kontrak 10 tahun tersebut, seharusnya aset PT OTM beralih menjadi milik PT Pertamina Patra Niaga.
“Klausul itu di dalam kontrak dihilangkan, padahal berdasarkan hasil kajian Pranata UI sudah jelas jika selama 10 tahun dengan harga yang disebutkan, aset akan menjadi milik PT Pertamina Patra Niaga, tetapi itu dihilangkan,” ujar Qohar.
Badan Pemeriksa Keuangan memperkirakan kerugian negara akibat tindakan ini mencapai Rp2,9 triliun.
“Kerugian berdasarkan perhitungan BPK sebanyak Rp2,9 triliun, khusus untuk OTM dengan hitungan total loss,” ungkap Qohar.
Ia juga menyatakan bahwa hingga saat ini Riza Chalid belum pernah hadir memenuhi panggilan.
“Khusus MRC selama 3 kali dipanggil, tidak hadir. Yang bersangkutan tidak tinggal di dalam negeri, khususnya di Singapore,” tegasnya.
Kejagung memastikan upaya pelacakan dan pemulangan Riza Chalid sedang dilakukan.
Total kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan mencapai Rp285.017.731.964.389.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok.

