Repelita Jakarta - Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menepis anggapan bahwa revisi RUU KUHAP memberikan tambahan kekuasaan kepada Kepolisian Republik Indonesia.
Ia menegaskan tidak ada pasal dalam draf yang membuat Polri lebih dominan dibandingkan KUHAP sebelumnya.
Menurutnya, justru terdapat pengurangan kewenangan bagi kepolisian karena revisi mengakui eksistensi penyidik dari institusi lain.
Ia menyebut bahwa dalam KUHAP lama, hanya penyidik dari kepolisian yang diatur.
Sementara dalam revisi, penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, dan institusi lain dimasukkan secara eksplisit.
Meski demikian, Polri tetap dinyatakan sebagai penyidik utama, sedangkan institusi lain disebut sebagai penyidik tertentu.
Komisi III DPR mulai membahas revisi KUHAP pada 8 Juli 2025.
Dari total 1.676 daftar inventarisasi masalah, sebanyak 1.091 pasal tetap dipertahankan, 68 pasal diubah, 91 pasal lama dihapus, dan 131 pasal baru ditambahkan.
Koalisi masyarakat sipil memberikan kritik tajam terhadap draf tersebut.
Mereka menilai revisi ini sarat dengan semangat otoritarian dan dapat memperbesar kuasa aparat tanpa pengawasan yang sepadan.
Kritik juga diarahkan pada pengurangan ruang partisipasi korban, penasihat hukum, dan warga dalam proses peradilan.
Koalisi itu bahkan menyusun draf tandingan sebagai alternatif.
Salah satu pasal yang menuai sorotan adalah Pasal 90 yang awalnya mengatur masa penangkapan selama 7 x 24 jam.
Namun, Habiburokhman mengklarifikasi bahwa Komisi III telah menyepakati perubahan menjadi 1 x 24 jam, sama seperti aturan dalam KUHAP sebelumnya.
Ia menyebut penangkapan lebih dari satu hari hanya berlaku pada kasus tertentu seperti terorisme.
Kesepakatan ini mengoreksi substansi awal dalam pembahasan DIM yang sempat membuka ruang penangkapan hingga satu minggu.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Maria Silvy, menyampaikan kekhawatiran atas posisi Polri sebagai penyidik utama dalam semua tindak pidana.
Ia menilai konsentrasi kewenangan tersebut berbahaya dan bisa memengaruhi mekanisme pembuktian.
Ia menekankan bahwa pembuktian diatur pula dalam undang-undang khusus seperti UU Tipikor, UU KPK, dan UU TPPU.
Sehingga, apabila penyidikan hanya dikendalikan oleh Polri, maka proses hukum lainnya harus menyesuaikan secara keseluruhan.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok.

