
Repelita Jakarta - Penyidik Polda Metro Jaya memutuskan untuk menyita ijazah Presiden Joko Widodo, baik dokumen ijazah SMA maupun ijazah strata satu, sebagai bagian dari proses penanganan laporan dugaan fitnah yang menyeret nama Jokowi terkait tudingan penggunaan ijazah palsu.
Tindakan ini memunculkan pertanyaan publik tentang dasar hukum penyitaan barang bukti, khususnya jika barang yang disita merupakan milik pihak ketiga yang tidak berstatus tersangka.
Dalam keterangan usai pemeriksaan di Mako 2 Polresta Surakarta, Jawa Tengah, Rabu 23 Juli 2025, Jokowi menyampaikan bahwa penyitaan dokumen pendidikan miliknya dilakukan oleh penyidik sebagai langkah pemeriksaan lebih lanjut.
Dasar pelaksanaan penyitaan diatur dalam KUHAP Pasal 38 hingga Pasal 46 yang menyebut penyitaan dapat dilakukan pada barang yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana, merupakan hasil tindak pidana, atau berkaitan erat dengan pembuktian kasus yang sedang diperiksa.
Proses penyitaan sendiri wajib didukung surat izin resmi dari pengadilan kecuali dalam kondisi mendesak, dan pemilik barang berhak menerima salinan berita acara penyitaan tersebut.
Barang bukti milik pihak ketiga pun dapat disita jika dinilai memiliki keterkaitan dengan pembuktian, dengan catatan pihak yang merasa dirugikan tetap dapat mengajukan keberatan melalui mekanisme praperadilan untuk menguji legalitas tindakan penyitaan tersebut.
Langkah penyitaan terhadap ijazah Jokowi dilakukan untuk memverifikasi keaslian dokumen yang belakangan ramai dipersoalkan, sekaligus menegaskan komitmen kepolisian dalam memastikan bukti yang beredar di publik sesuai dengan fakta sebenarnya.
Pihak kepolisian juga menegaskan bahwa tindakan ini tidak serta merta berarti meragukan keaslian ijazah Presiden, tetapi semata untuk melengkapi unsur pembuktian sesuai prosedur hukum.
Ahli hukum memandang tindakan penyidik sah sejauh dijalankan dengan izin resmi, disertai tata cara penyitaan yang transparan dan dijamin keamanannya.
Dokumen yang disita nantinya harus dikembalikan apabila proses penyidikan rampung, kecuali muncul putusan pengadilan yang menetapkan hal lain.
Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Prim Haryadi dalam rapat bersama Komisi III DPR RI menekankan pentingnya pengaturan perlindungan hak pihak ketiga secara lebih detail di rancangan KUHAP mendatang, agar keberatan atas penyitaan dapat diproses lebih jelas.
Ia menilai aturan serupa sudah ada dalam UU narkotika dan korupsi, serta diperkuat melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2022 yang mengatur keberatan pihak ketiga dengan iktikad baik atas barang yang dirampas bukan milik terdakwa.
Meski demikian, penyitaan tetap rentan menimbulkan persoalan baru bila tidak dilaksanakan hati-hati, karena berpotensi menimbulkan benturan antara kepentingan penyidikan dan perlindungan hak-hak individu yang tidak terlibat langsung.
Karena itu, aparat penegak hukum diingatkan agar menjalankan kewenangan penyitaan dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan akuntabilitas agar tujuan penegakan hukum tidak melanggar hak warga yang dilindungi.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

