Breaking Posts

-->
6/trending/recent

Hot Widget

-->
Type Here to Get Search Results !

Revisi KUHAP: Kuasa polisi makin besar, warga makin terpojok?

 Revisi KUHAP: Masih Banyak Pasal Bermasalah, Cerita Korban Ketidakadilan,  Desakan Perbaikan Substansi | Berita Terkini, Independen, Terpercaya | KBR  ID

Repelita Jakarta - Polemik mengenai rancangan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana saat ini menyorot perhatian publik karena dinilai berpotensi menambah dominasi kekuasaan Polri dalam proses peradilan pidana, tanpa diimbangi pengawasan yang ketat dan penghargaan terhadap hak asasi manusia warga negara.

Sejumlah pihak menilai bahwa kewenangan berlebih pada jajaran kepolisian justru dapat menimbulkan penindakan sewenang-wenang, apalagi di tengah catatan panjang tindak kekerasan aparat di Indonesia yang belum tuntas, seperti tragedi Kanjuruhan 2022 yang merenggut nyawa 135 orang serta sejumlah aksi represif saat demonstrasi menolak kebijakan pemerintah.

Salah satu sorotan dalam rancangan aturan baru ini ialah status Polri sebagai penyidik utama yang turut memegang kendali atas penyidik lain, termasuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil serta penyidik sektoral di instansi tertentu.

Pengaturan ini dianggap berpotensi memengaruhi independensi kerja para penyidik sektoral yang semestinya berdiri bebas dari intervensi, sehingga membuka celah terjadinya penyalahgunaan kewenangan di tingkat penegakan hukum.

Sebagai penegak hukum, Polri diberi kewenangan menyelidiki dan menyidik, yang diikuti hak melaksanakan berbagai tindakan paksa yang berimbas pada pembatasan kebebasan warga negara.

Namun, revisi KUHAP justru memperbesar ruang aparat sejak tahap awal penyelidikan, tanpa syarat pembuktian yang kuat.

Contohnya, Pasal 5 ayat (1) rancangan revisi KUHAP memberikan wewenang bagi penyelidik memberhentikan warga yang dicurigai, memeriksa identitas, hingga melakukan tindakan yang bersifat penangkapan.

Bahkan, Pasal 5 ayat (2) membuka peluang bagi penyelidik untuk melakukan penangkapan, penggeledahan, pengambilan data forensik, dan penahanan atas dasar perintah penyidik, padahal tahap penyelidikan semestinya difokuskan pada upaya menemukan unsur pidana terlebih dahulu.

Padahal, prinsip dasar hukum pidana mengatur bahwa penangkapan hanya sah dilakukan jika terdapat setidaknya dua alat bukti yang mendukung dugaan tindak pidana, disertai surat perintah yang memuat uraian perkara secara jelas.

Proses penahanan juga seharusnya diterapkan pada tersangka dengan ancaman pidana minimal lima tahun penjara, dan status tersangka atau terdakwa sendiri baru dapat ditetapkan di tahap penyidikan, bukan penyelidikan.

Kelonggaran pada tahap penyelidikan ini mengundang kekhawatiran masyarakat lantaran membuka ruang bagi tindakan salah tangkap, penahanan sewenang-wenang, serta praktik kriminalisasi terhadap warga sipil dengan pandangan politik berbeda.

Dalam beberapa tahun terakhir, kasus penindakan massa aksi menolak kebijakan tertentu menjadi contoh nyata, seperti penangkapan ribuan demonstran pada gerakan Reformasi Dikorupsi tahun 2019 hingga Peringatan Darurat 2024 yang menolak revisi Undang-Undang Pilkada.

Sebagian jurnalis turut menjadi korban kekerasan aparat di lapangan, sementara ratusan warga ditangkap tanpa prosedur yang transparan.

Sementara kebutuhan pembaruan KUHAP memang mendesak mengingat aturan lama sudah tidak relevan dengan perkembangan sistem peradilan pidana modern, revisi yang sedang digodok ini justru rentan memposisikan masyarakat pada risiko tertekan oleh instrumen negara.

Pemerintah dan DPR semestinya memanfaatkan momentum pembaruan KUHAP untuk mempertegas keseimbangan hak antara tersangka, korban, hingga kelembagaan penegak hukum, sekaligus membangun mekanisme pengawasan antarinstansi agar tidak lahir dominasi mutlak di satu lembaga.

Kesempatan pembahasan aturan ini juga sepatutnya dilakukan terbuka, melibatkan publik secara luas, demi menjamin keadilan materiil dan keadilan prosedural di dalamnya.

Tanpa pelibatan masyarakat, revisi KUHAP dikhawatirkan hanya akan menjadi instrumen legal untuk membungkam kebebasan berpendapat, sekaligus melegitimasi praktik penindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum yang selama ini masih sering terjadi.(*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

-->

Below Post Ad

-->

Ads Bottom

-->
Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved