Repelita Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menilai keputusan pemerintah yang tetap membolehkan wakil menteri merangkap jabatan meskipun sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah bentuk penyalahgunaan argumentasi hukum yang disengaja.
Menurutnya, tindakan tersebut mencerminkan bagaimana penguasa bisa saja memelintir logika hukum demi kepentingan politik praktis.
Melalui unggahan di akun Threads pribadinya pada Selasa 29 Juli 2025, Bivitri menjelaskan bahwa putusan MK Nomor 80 Tahun 2019 sudah menegaskan larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri.
Ia menambahkan, putusan MK tidak sekadar berisi amar putusan yang menyatakan permohonan diterima atau ditolak, tetapi juga memuat pertimbangan hukum yang wajib dipatuhi sebagai kaidah hukum baru.
Dalam pernyataannya, Bivitri menegaskan bahwa pertimbangan hakim di dalam putusan juga mengikat karena di situlah ratio decidendi yang menjadi rujukan praktik penegakan hukum.
Ia menyebut banyak pihak tidak memahami bahwa hakim melalui putusannya justru turut membuat kaidah hukum yang wajib diikuti.
Bivitri mencontohkan, meskipun putusan MK terbaru tentang rangkap jabatan gugur karena pemohon meninggal, putusan sebelumnya tetap berlaku.
Baginya, alasan pemerintah mengabaikan putusan hanya karena bukan amar utama adalah bentuk pembenaran yang salah kaprah.
Ia menekankan, jika dibiarkan, praktik semacam ini justru menjadi ciri pemerintahan otoriter karena melemahkan kontrol kekuasaan oleh lembaga yudikatif.
Lebih jauh, Bivitri mengulas aspek kepatutan pejabat rangkap jabatan.
Ia menyoroti potensi benturan kepentingan, ketidakjelasan kompetensi, hingga pemborosan anggaran negara karena pejabat rangkap jabatan berpotensi menerima gaji ganda.
Menurutnya, jika benar pemerintah merasa gaji pejabat terlalu kecil, maka seharusnya yang diperbaiki adalah sistem anggarannya, bukan malah membuka celah rangkap jabatan.
Dalam salah satu penjelasannya, Bivitri juga mengingatkan bahwa semua larangan rangkap jabatan yang diatur untuk menteri dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 berlaku pula untuk wakil menteri.
Hal ini semestinya memastikan wakil menteri fokus menjalankan beban kerja yang memang memerlukan penanganan khusus, bukan justru membagi peran ke posisi lain.
Ia pun menutup penjelasannya dengan menyebut sikap mengabaikan putusan pengadilan adalah contoh bagaimana hukum bisa dipelintir oleh penguasa yang justru paham betul cara memainkan celah aturan.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

