Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Jimly Ingatkan Pejabat Publik Jangan Abaikan Putusan MK demi Kepentingan Politik

 Jimly Asshiddiqie Nilai jika Ada Perubahan Putusan MK soal Batas Usia  Capres-Cawapres Berlaku untuk 2029

Repelita Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal memantik reaksi dari berbagai kalangan.

Salah satunya datang dari Prof Jimly Asshiddiqie, pakar hukum tata negara yang juga pernah menjabat sebagai Ketua MK.

Melalui akun X @JimlyAs pada 3 Juli 2025, Jimly mengingatkan pentingnya kepatuhan terhadap konstitusi.

Ia menekankan bahwa pejabat publik telah bersumpah untuk tunduk pada UUD 1945 saat dilantik.

Menurut Jimly, keputusan lembaga peradilan seperti MK harus dihormati, meskipun mungkin tidak menguntungkan kelompok tertentu.

“Kita harus membiasakan diri untuk hormat pada putusan pengadilan, meskipun tidak suka atau tidak memuaskan kepentingan pribadi dan kelompok,” ujarnya.

Jimly menegaskan bahwa taat pada konstitusi merupakan dasar kehidupan bernegara.

Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan terkait pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diumumkan pada 26 Juni 2025.

Pemilu Nasional akan mencakup Pilpres, DPR, dan DPD, sementara Pemilu Lokal terdiri dari Pilkada Gubernur, Bupati/Wali Kota, serta DPRD.

Kedua jenis pemilu itu harus dilaksanakan secara terpisah dengan jarak minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun.

Putusan ini mulai berlaku pada pemilu 2029 dan tidak mengubah format Pemilu 2024 yang tetap diselenggarakan serentak.

MK menyebut bahwa pelaksanaan pemilu serentak sebelumnya menimbulkan banyak persoalan, seperti tingginya beban pemilih dan kelelahan petugas pemilu.

Contohnya pada Pemilu 2019, ratusan petugas penyelenggara dilaporkan meninggal dunia karena beban kerja berlebih.

MK juga menilai bahwa isu lokal tenggelam akibat dominasi pemilu presiden dan legislatif nasional.

Putusan ini juga direspons oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas) Yusril Ihza Mahendra.

Yusril menyampaikan bahwa penundaan Pilkada bisa dilakukan secara konstitusional karena Pilkada tidak termasuk dalam kategori Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945.

Ia menjelaskan bahwa masa jabatan kepala daerah ditentukan oleh undang-undang, bukan konstitusi.

Oleh sebab itu, penundaan Pilkada bisa sah jika diatur melalui undang-undang.

Di sisi lain, putusan MK ini mengundang pro dan kontra di kalangan elite politik.

Beberapa partai besar menyatakan penolakan, karena dinilai membuka peluang kekosongan jabatan yang harus diisi oleh penjabat kepala daerah dalam jumlah besar.

Ada juga kekhawatiran terhadap meningkatnya biaya dan beban administrasi.

Namun, sebagian akademisi dan organisasi pemantau pemilu menilai putusan MK ini sebagai langkah maju bagi demokrasi Indonesia.

Dengan jadwal terpisah, diharapkan masyarakat dapat lebih fokus pada isu-isu spesifik sesuai jenjang pemerintahan.

Putusan ini juga memberikan peluang bagi partai politik untuk meningkatkan kaderisasi di tingkat lokal dan nasional secara seimbang.

MK menegaskan bahwa sistem pemilu lima kotak selama ini terbukti menyulitkan pemilih dan melemahkan kualitas demokrasi.

Karena itu, pemisahan antara Pemilu Nasional dan Lokal dipandang perlu agar pemilu menjadi lebih terfokus, efisien, dan substantif.

Tantangan kini berada di tangan pemerintah dan DPR untuk segera merevisi undang-undang pemilu sesuai dengan putusan MK tersebut. (*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved