
Repelita Pasuruan - Fenomena penggunaan sound horeg dalam berbagai acara hiburan di sejumlah wilayah, terutama Jawa Timur, mulai menuai kritik tajam dari kalangan pesantren.
Suara keras yang dihasilkan oleh speaker berdaya besar ini tidak hanya dianggap mengganggu, tetapi juga dinilai memiliki dampak sosial dan moral yang meresahkan.
Salah satu respons tegas datang dari Bahtsul Masail Forum Satu Muharram (FSM) Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan.
Melalui forum resmi tersebut, mereka menetapkan bahwa penggunaan sound horeg hukumnya haram.
Penetapan ini diumumkan dalam forum diskusi keislaman yang digelar beberapa waktu lalu.
Pihak pesantren menyatakan bahwa keputusan tersebut tidak hanya didasari oleh masalah kebisingan semata.
Lebih dari itu, sound horeg dinilai mencerminkan budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
1. Alasan Pengharaman Sound Horeg
FSM Ponpes Besuk menilai bahwa sound horeg sering dikaitkan dengan hiburan jalanan yang sarat dengan campur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa batasan yang jelas.
Kondisi ini dinilai membuka peluang terjadinya ikhtilat, hedonisme, dan pemborosan yang dilarang dalam Islam.
Forum tersebut juga menekankan bahwa keputusan haram tidak hanya berlaku saat sound horeg menimbulkan gangguan fisik.
Meski tidak menimbulkan kebisingan ekstrem, kehadirannya tetap dianggap menyalahi syariat karena sudah lekat dengan budaya yang dinilai menyimpang.
Keputusan tersebut didasarkan pada prinsip sadduz zara’i, yaitu upaya menutup jalan yang mengarah pada kerusakan.
Dengan demikian, larangan ini bersifat preventif terhadap potensi maksiat yang timbul dari penggunaan sound horeg.
2. Penilaian Kontekstual atas Budaya Populer
Menurut FSM, sound horeg bukan sekadar alat hiburan.
Ia telah menjadi simbol budaya yang tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Meski awalnya berangkat dari tradisi rakyat seperti pawai dan pesta pernikahan, dalam praktiknya sound horeg kerap digunakan dalam suasana yang mengabaikan nilai keislaman.
Pemerintah daerah seperti Kabupaten Pati pun telah memberlakukan pembatasan volume hingga 60 desibel untuk mencegah gangguan.
Namun, Bahtsul Masail melihat persoalan dari sisi sosial yang lebih dalam.
Mereka menilai bahwa penyebaran budaya sound horeg justru melemahkan rasa malu dan kesadaran spiritual di masyarakat.
“Bukan hanya karena bising, tapi karena budaya di baliknya tidak Islami,” ungkap salah satu peserta forum dalam diskusi tersebut.
3. Kritik Netizen dan Tanggapan Masyarakat
Keputusan ini mendapat beragam tanggapan di media sosial sejak diposting pada 27 Juni 2025.
Beberapa netizen mendukung dengan komentar seperti, “Akhirnya ada ulama yang berani bicara.”
Namun, ada pula yang menyayangkan, “Bukan speakernya yang salah, tapi cara pemakaiannya.”
Meskipun muncul pro dan kontra, keputusan tersebut tetap dianggap sebagai bentuk tanggung jawab moral dari kalangan pesantren dalam menjaga nilai-nilai agama.
Ponpes Besuk menegaskan bahwa mereka tidak ingin larut dalam pembiaran terhadap budaya yang merusak spiritualitas umat.
4. Dampak Keputusan bagi Lembaga Keagamaan Lain
Putusan haram terhadap sound horeg ini diperkirakan akan menjadi rujukan bagi pesantren lain dalam menilai budaya modern.
Pesantren Besuk berharap bahwa pendekatan kontekstual terhadap halal dan haram dapat menjadi jalan tengah yang bijak.
Dengan mempertimbangkan dampak sosial dan simbolisme budaya, lembaga keagamaan diharapkan lebih proaktif dalam menyikapi fenomena serupa.
FSM menyatakan bahwa budaya yang telah mengakar kuat di masyarakat harus dilihat secara holistik.
Jika suatu praktik membawa lebih banyak mudarat, maka pendekatan syar’i harus segera diterapkan.
Melalui keputusan ini, FSM Ponpes Besuk menunjukkan komitmennya dalam menjaga moral dan identitas umat di tengah gempuran budaya populer yang tak selalu sejalan dengan nilai Islam. (\*)
Editor: 91224 R-ID Elok.