Repelita Jakarta - Sidang lanjutan perkara perlindungan situs judi online yang tengah bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menyorot Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, setelah sejumlah kesaksian membuka dugaan keterlibatannya secara langsung dalam jaringan terdakwa.
Dalam sidang yang digelar 28 Mei 2025, enam orang saksi dihadirkan, termasuk tiga mantan pejabat Kominfo yang secara tegas menyebut nama Budi Arie dan perannya dalam rekrutmen maupun pertemuan dengan para terdakwa.
Hersubeno Arief dan jurnalis senior Agi Betha dalam kanal YouTube Off The Record FNN membedah kesaksian tersebut, yang dinilai memperkuat dugaan adanya hubungan mencurigakan antara menteri dan terdakwa.
Dirjen Aptika saat itu, Hoki Situngkir, mengaku pernah dipertemukan dengan terdakwa Zulkarnain Apriliantoni alias Tony Tomang di rumah dinas Budi Arie pada April 2024.
Tony disebut datang sebagai pihak yang akan membantu penanganan situs judi online.
Pertemuan di luar ruang resmi kementerian itu dipertanyakan karena minim saksi dan berlangsung dalam kapasitas pribadi.
Kesaksian lain datang dari Teguh Arifadi, mantan Direktur Pengendalian Aptika, yang menyebut Budi Arie secara langsung meminta agar Adi Kismanto direkrut dalam tim, meski hanya lulusan SMK dan tidak memenuhi syarat pendidikan.
Teguh menyimpan bukti percakapan dengan staf khusus menteri yang memperkuat perintah tersebut berasal dari Budi Arie.
Ulfa Wahidiyah dari Tim Keuangan Aptika menambahkan bahwa gaji Adi Kismanto sempat diminta sebesar Rp17 juta per bulan, namun akhirnya disepakati Rp10 juta dan diambil dari dana operasional ATK.
Ulfa menegaskan bahwa Adi sebenarnya tidak lolos seleksi.
Terdakwa lain, Murijan alias Agus, mengungkap bahwa dirinya menjadi penghubung antara beberapa agen situs judi dan Kominfo sejak Maret 2024, tak lama setelah Budi Arie dilantik.
Agus mengaku membantu mengamankan situs agar tidak diblokir.
Hersubeno menyoroti pola pertemuan tertutup dan munculnya kode-kode dalam aliran dana seperti PM dan CHF yang diduga merujuk pada pejabat tinggi, termasuk “Pak Menteri”.
Ia menyebut skema semacam ini sering dijumpai dalam berbagai kasus korupsi besar.
Agi Betha menambahkan bahwa peran Budi Arie dalam koperasi Merah Putih serta polemik PDNS turut memperburuk kredibilitasnya sebagai menteri.
Keduanya mempertanyakan mengapa hingga kini Budi Arie belum dipanggil sebagai saksi, meski namanya terus berulang dalam dakwaan dan kesaksian.
Mereka mendesak hakim untuk menggunakan kewenangannya memanggil Budi Arie, agar kasus ini tidak hanya menjerat para operator di lapangan.
“Kalau tidak dipanggil, maka publik bisa menilai bahwa ada upaya perlindungan dari dalam,” tegas Hersubeno.
Ia menegaskan bahwa tekanan publik dan sorotan media bisa menjadi pendorong utama agar hakim bertindak adil dan tidak berat sebelah.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok