Repelita Jakarta - Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, kembali mengkritik warisan ekonomi era pemerintahan Jokowi yang ia sebut sebagai bentuk peran "makelar utang" negara.
Menurut Said Didu, kebijakan utang yang dijalankan selama masa kepemimpinan Jokowi telah memberikan beban berat terhadap struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ia menyoroti lonjakan drastis utang negara yang disebut meningkat hampir tiga kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir.
“Silakan simak. Hasil makelar utang rezim Jokowi. Utang naik sekitar tiga kali lipat,” ungkap Said Didu dalam unggahan di akun X @msaid_didu pada 24 Juni 2025.
Ia juga membandingkan beban bunga utang saat ini yang disebut jauh lebih besar daripada era sebelumnya dan bahkan lebih tinggi dari bunga tabungan masyarakat.
“Bunga utang lebih tinggi tiga kali dari bunga utang sebelumnya, dan dua sampai tiga kali lebih tinggi dari bunga tabungan,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa porsi pengeluaran negara untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang sudah memakan 35 hingga 40 persen dari total anggaran nasional.
“Pembayaran utang (pokok dan bunga), sudah sekitar 35 sampai 40 persen dari APBN,” tandasnya.
Sementara itu, Managing Director PEPS, Anthony Budiawan, juga menyampaikan kritik keras terhadap data pertumbuhan ekonomi Indonesia di era Jokowi.
Ia menilai angka-angka yang stagnan di kisaran 5 persen setiap tahun sangat tidak masuk akal dan berpotensi merupakan hasil manipulasi.
“Jangankan meroket, pertumbuhan ekonomi 2015 jeblok, hanya 4,88 persen. Ekonomi Indonesia sepanjang periode pertama Jokowi tidak mampu bangkit, hanya stabil di sekitar 5 persen saja,” kata Anthony.
Ia mempertanyakan konsistensi angka pertumbuhan seperti 5,03 persen di 2016, 5,07 persen di 2017, 5,17 persen di 2018, dan 5,02 persen di 2019.
Menurutnya, stabilitas semacam itu selama bertahun-tahun sangat ganjil dan tidak mencerminkan dinamika ekonomi riil.
“Pertumbuhan ekonomi yang stabil seperti ini, untuk jangka waktu cukup lama, sangat tidak lazim, dan mengundang kecurigaan. Diduga ada fabrikasi alias manipulasi terhadap angka pertumbuhan ekonomi tersebut,” ucapnya.
Ia menambahkan bahwa keraguan terhadap data pertumbuhan ini juga muncul dari kalangan ekonom luar negeri.
Anthony menyinggung pendapat Gareth Leather dari Capital Economics yang menyatakan secara terang-terangan tidak mempercayai data PDB Indonesia.
Ia juga mengutip Trinh Nguyen, ekonom dari lembaga keuangan di Hong Kong, yang merasa heran atas pola pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stagnan di tengah lemahnya belanja negara dan investasi.
"I don’t know how an economy can grow at the same rate for so long. Gov spending is weak and investment slowing and imports contracting HARD,” kutip Anthony dari pernyataan Trinh.
Anthony menjelaskan bahwa manipulasi pertumbuhan ekonomi bisa dilakukan dengan dua cara utama, yaitu menaikkan angka nominal dan mengubah angka deflator atau indeks harga.
“Fabrikasi ekonomi cukup dilakukan dengan memanipulasi angka deflator. Artinya, otak-atik angka deflator dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang diinginkan, alias manipulatif,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa praktik semacam itu juga pernah terjadi di sejumlah negara seperti Argentina, Turki, Yunani, China, dan India.
Sebagai contoh, Anthony mengungkap bahwa Arvind Subramanian, mantan penasihat ekonomi India, pernah menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi negaranya dilebih-lebihkan sebesar 2,5 persen.
Ia menyimpulkan bahwa kondisi serupa bisa saja terjadi di Indonesia saat ini.
“Fabrikasi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini terlalu tinggi sekitar 2 persen. Sehingga pertumbuhan ekonomi sebenarnya hanya sekitar 3 persen, bahkan bisa jadi cuma 2,5 persen,” tegasnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok