Repelita Surakarta - Pemerhati sosial dan ekonomi dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Nurmadi H. Sumarta, menyebut keraguan publik terhadap keaslian ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, merupakan hal yang wajar.
Ia menilai hal itu muncul akibat akumulasi ketidakpercayaan publik terhadap narasi maupun kebijakan yang diambil Jokowi selama dua periode masa jabatannya.
“Persoalan ijazah ini bukan hanya soal dokumen, tetapi simbol dari krisis kepercayaan publik. Banyak orang merasa janji dan kenyataan dari Jokowi kerap bertolak belakang, seperti pepatah: sein kiri tapi belok ke kanan,” ucap Nurmadi pada Rabu (25/6/2025).
Ia mengatakan bahwa polemik ijazah bukan hanya perdebatan administratif.
Menurutnya, ini adalah soal kejujuran seorang pemimpin yang akan menjadi catatan penting dalam sejarah bangsa.
Ia turut menyoroti keputusan Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri yang menyetop penyelidikan kasus ini dengan alasan tidak cukup bukti.
“Banyak kasus besar di negeri ini yang berhenti bukan karena jelas, tetapi karena tidak ada keberanian menuntaskan. Dalam kasus ijazah Jokowi, sikap tertutup justru memelihara kecurigaan. Kalau memang asli, kenapa tidak transparan saja sejak awal?” lanjutnya.
Nurmadi menyinggung argumen dari para pendukung Jokowi yang menyebut bahwa polemik ijazah sudah tidak relevan karena masa jabatan sang mantan presiden telah berakhir.
“Logika seperti itu mengabaikan pentingnya rekam jejak moral pemimpin. Jokowi itu simbol negara selama 10 tahun. Bila ada yang tidak tuntas, rakyat berhak tahu. Ini bukan soal menjatuhkan, tapi soal warisan integritas,” ujarnya.
Ia menyebut inkonsistensi Jokowi dalam banyak hal membuat publik kehilangan kepercayaan, bukan hanya pada dirinya, tetapi juga terhadap lembaga negara yang seharusnya netral.
“Kalau masyarakat terus dibiarkan bertanya-tanya, dan negara diam saja, maka jangan salahkan publik bila memilih tidak percaya. Rasa percaya itu bukan diwariskan, tapi dibangun dengan transparansi dan kejujuran,” tutupnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok