
Repelita Jakarta - Rencana Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang membuka wacana pengurangan ukuran rumah subsidi menjadi minimal 18 meter persegi mendapat sorotan tajam dari kalangan pengamat.
Pengamat properti Anton Sitorus mempertanyakan sejauh mana Menteri PKP Maruarar Sirait memahami isu hunian layak bagi masyarakat.
Ia mengaku heran dengan kualitas sumber daya manusia di pemerintahan saat ini, khususnya terkait sosok Ara.
“Bapak belajarnya di mana sih? Di SD atau di tempat mana? Kenapa bisa jadi pejabat seperti ini? Dari mana asalnya?” ungkap Anton.
Menurutnya, pernyataan para pejabat di Kementerian PKP belakangan ini justru membuat publik bingung karena tidak berpijak pada norma sosial yang logis.
“Jadi yang musti dikritisi memang ini statement-statement dari pejabat, kementerian PKP, dan sebagainya itu sangat membingungkan. Kaidah-kaidah normal itu kayaknya tidak diperhatikan,” katanya.
Anton juga menyoroti pola rekrutmen jabatan penting yang saat ini cenderung didasarkan pada kedekatan politik, bukan kompetensi.
“Orang yang jadi pejabat kok begitu mikirnya gitu. Makanya pendidikannya sebenarnya apa, kualitas SDM-nya. Yang kita tahu kan memang kebanyakan ini sekarang pejabat itu karena perkenalan, politik, bukan masalah keahlian,” tambahnya.
Ia menilai masyarakat akhirnya harus menanggung akibat dari keputusan yang dilahirkan pejabat tanpa kapasitas.
“Kita tidak heran jadinya yang jadi menteri, yang jadi wakil menteri, dirjen itu mereka dipilih bukan karena capability-nya gitu,” tandasnya.
Polemik ini muncul setelah beredarnya draf Keputusan Menteri PKP yang menyebutkan bahwa rumah tapak subsidi akan dibatasi dengan ukuran bangunan minimal 18 hingga 36 meter persegi.
Luas tanah rumah subsidi itu juga direncanakan antara 25 hingga 200 meter persegi.
Angka tersebut lebih kecil dari ketentuan sebelumnya, yakni bangunan minimal 21 hingga 36 meter persegi dengan tanah seluas 60 hingga 200 meter persegi.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

