Repelita Jakarta - Penangkapan mahasiswi ITB, SSS, yang membuat meme yang menggambarkan Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto memicu protes dari berbagai pihak.
SSS dikenakan pasal dalam Undang-Undang ITE yang mengancam dengan hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Kasus ini menarik perhatian dari aktivis, jurnalis, dan banyak masyarakat.
Dandhy Laksono, seorang jurnalis dan sutradara, mengungkapkan sindiran keras di akun X-nya.
Ia mempertanyakan keadilan hukum dengan perbandingan antara kasus meme dan tindakan lain yang lebih serius, seperti penculikan.
"Nyulik orang jadi presiden, tapi bikin meme terancam 12 tahun," tulisnya.
Pernyataan Dandhy ini memicu banyak diskusi di media sosial mengenai penegakan hukum yang dinilai tidak adil.
Selain itu, Prof. Dr. Henri Subiakto, seorang guru besar komunikasi dari Universitas Airlangga, juga mengkritik penggunaan pasal dalam UU ITE terhadap SSS.
Menurutnya, pasal tersebut tidak seharusnya digunakan untuk menahan seseorang atas dugaan penghinaan dalam bentuk meme.
Henri Subiakto menjelaskan bahwa sanksi dalam UU ITE untuk kasus penghinaan hanya seharusnya dijatuhkan dengan ancaman pidana lebih ringan.
Kritik terhadap penggunaan UU ITE ini semakin memperbesar kekhawatiran publik bahwa hukum digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi.
Kebebasan berpendapat dan berkreasi di media sosial adalah hak dasar dalam demokrasi yang harus dihormati.
Namun, penerapan hukum yang terlalu ketat dan tidak proporsional berisiko mengekang hak-hak tersebut.
Masyarakat pun mendesak pemerintah agar melakukan evaluasi terhadap UU ITE agar tidak disalahgunakan.
Kasus ini mengingatkan publik tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan kebebasan sipil.
Diskusi mengenai penegakan hukum yang adil dan tepat guna untuk melindungi hak asasi manusia semakin menjadi perhatian publik.
Kebebasan berekspresi harus tetap menjadi landasan utama dalam kehidupan demokrasi yang sehat dan inklusif di Indonesia.
Editor: 91224 R-ID Elok