Repelita Jakarta - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengisahkan sosok Djuyamto, hakim yang sempat dikenal sebagai simbol perlawanan terhadap praktik kolusi di lingkungan peradilan.
Dalam sebuah program bincang, Mahfud menyampaikan bahwa pada tahun 2011 Djuyamto pernah mendatangi Komisi Yudisial dengan tekad memperbaiki wajah peradilan.
Kala itu, Djuyamto mengungkap niatnya secara langsung untuk memutus rantai korupsi di tubuh lembaga hukum.
Menurut Mahfud, niat baik itu disambut antusias oleh Komisi Yudisial yang kemudian menjajaki kerja sama dengan Mahkamah Agung demi meningkatkan kesejahteraan hakim sebagai bagian dari reformasi.
Namun langkah Djuyamto justru memicu kemarahan dari petinggi Mahkamah Agung.
Usul kenaikan gaji yang dia sampaikan dinilai mempermalukan institusi.
"Dia cuma ingin perbaikan penghasilan supaya tidak kelaparan, bukan untuk jadi kaya. Tapi justru itu yang membuatnya kena marah," ujar Mahfud.
Akibat kegigihannya, Djuyamto kemudian ditempatkan di wilayah terpencil di luar Pulau Jawa.
Mahfud menyebut pemindahan itu sebagai bentuk hukuman atas kejujurannya.
Tahun berikutnya, Djuyamto datang kembali ke Komisi Yudisial dan menyampaikan kekecewaannya atas kenyataan pahit yang ia alami.
"Dia bilang, ‘Mau berbuat benar kok malah dibuang jauh,’" kenang Mahfud.
Namun ironi kemudian terjadi.
Beberapa tahun setelahnya, Djuyamto kembali ditugaskan di Jakarta.
Kini, ia justru menjadi tersangka dalam perkara dugaan suap yang terkait dengan vonis lepas terhadap tiga perusahaan besar dalam kasus ekspor minyak sawit mentah.
Mahfud menyimpulkan bahwa sistem yang tidak mendukung kejujuran bisa menyeret orang-orang yang awalnya lurus ke jalur yang keliru.
Hakim yang dahulu berniat membersihkan pengadilan, akhirnya terseret dalam pusaran yang ingin dia putuskan.
Editor: 91224 R-ID Elok