Repelita Jakarta - Klasemen liga korupsi yang ramai di media sosial seharusnya menjadi teguran keras bagi semua lembaga penegak hukum.
Peneliti Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) Ahmad Hariri menilai, fenomena ini menunjukkan bahwa aparat penegak hukum (APH) selama ini hanya membangun pertunjukan kasus agar disebut hebat.
"Tapi pengembalian hasil korupsi dari kasus yang telah ditangani malah paling minim," ujar Hariri.
Menurutnya, uang rakyat yang dikorupsi hanya ditindak atas nama penegakan hukum, tetapi tidak benar-benar dikembalikan kepada rakyat.
"Namun uang hasil korupsi itu tidak pernah benar-benar kembali kepada rakyat," tambahnya.
Hariri menegaskan, pertanyaan ini harus mampu dijawab oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Sepanjang periode 2019-2024, KPK melaporkan pengembalian hasil korupsi sebesar lebih dari Rp2,5 triliun.
Sementara itu, Kejagung sangat jarang melaporkan pengembalian hasil korupsi dari kasus yang mereka tangani.
Padahal, lembaga ini sering mengungkap potensi kerugian negara dalam jumlah besar serta menyita banyak aset hasil korupsi.
"Sayangnya tidak banyak data yang rinci melaporkan recovery aset korupsi oleh Kejagung," kata Hariri.
Ia menambahkan, pemulihan aset hasil korupsi oleh KPK dan Kejagung masih sangat sedikit dibandingkan dengan total kerugian negara akibat korupsi.
"Jadi wajar setengah dari masyarakat menilai pemberantasan korupsi hanya untuk kepentingan politik," ujarnya.
Selain APH, Hariri menilai pengembalian hasil korupsi juga menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Sebagai bendahara negara, Kemenkeu seharusnya mengumumkan secara transparan apakah uang dan aset hasil pengembalian korupsi benar telah diterima atau hanya sebatas publikasi media.
"Rampasan dari korupsi itu sudah digunakan untuk pos APBN dan program apa saja? Jangan sampai tindakan pemberantasan korupsi hanya menjadi ajang 'giat rampok ketemu maling'," pungkasnya.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok