Repelita Jakarta - Dalam ulasan terbaru di kanal YouTube pribadinya, pakar hukum tata negara Refly Harun membahas dinamika politik antara Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo. Refly menyoroti pernyataan Prabowo yang menyebut Jokowi sebagai “guru politiknya,” yang dianggap bisa mengandung makna basa-basi atau malah menyiratkan keseriusan.
Menurut Refly, jika Prabowo benar-benar belajar dari Jokowi, maka pelajaran pertama yang harus dipetik adalah sikap pragmatis dalam politik. Refly mengingatkan bahwa Prabowo pernah mengalami beberapa kali kekalahan dalam kontestasi politik, termasuk dalam konvensi Golkar 2004, pencalonan sebagai cawapres bersama Megawati pada 2009, serta dua kali kalah dalam Pilpres 2014 dan 2019 melawan Jokowi. Dari pengalaman ini, Refly berpendapat bahwa Prabowo seharusnya menyadari bahwa untuk meraih kemenangan dalam politik, tak bisa hanya mengandalkan strategi yang “lurus-lurus saja.”
Refly juga menekankan bahwa salah satu pelajaran penting yang didapat Prabowo dari Jokowi adalah bagaimana menggandeng kekuasaan dan memanfaatkan sumber daya negara untuk memenangkan pemilu. Menurutnya, kemenangan dalam pemilu tidak hanya bergantung pada dukungan suara rakyat, tetapi juga pada kemampuan untuk memobilisasi sumber daya negara, baik dalam hal finansial maupun kekuatan aparatur pemerintah.
“Untuk menang, tidak ada cara lain kecuali menggandeng kekuasaan,” tegas Refly. Ia juga mengingatkan bahwa gugatan hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) kerap kali tidak mengubah peta politik, karena MK dianggap tidak memiliki mekanisme pembuktian yang memadai dalam waktu singkat.
Refly kemudian menyentuh bagaimana Prabowo akhirnya memilih untuk bergabung dengan pemerintahan Jokowi setelah kekalahannya di 2019. Langkah tersebut dianggap sebagai strategi untuk memperoleh dukungan politik dan mengamankan posisinya sebagai calon kuat di Pilpres 2024. Namun, Refly menilai ada harga yang harus dibayar, yaitu dengan memberikan tempat bagi orang-orang Jokowi dalam kabinetnya.
Selain itu, Refly juga membahas dinamika politik yang mengarah pada praktik nepotisme. Ia menyarankan Prabowo untuk mengambil langkah strategis, salah satunya dengan mengamankan posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, meskipun ada kontroversi terkait perubahan aturan usia yang melibatkan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, Refly menyebutkan bahwa salah satu pelajaran lainnya yang harus dipetik Prabowo adalah bagaimana menggunakan orang-orang bermasalah dalam kabinet untuk menjaga loyalitas politik. Beberapa menteri yang dipilih Prabowo memiliki rekam jejak kontroversial, termasuk dugaan kasus korupsi. Refly menilai, ini adalah strategi untuk memastikan bahwa para pejabat tersebut tetap loyal karena merasa memiliki utang politik kepada presiden.
“Ambil orang-orang bermasalah, biarkan mereka terikat, dan tagih loyalitas mereka,” ujar Refly.
Refly menambahkan bahwa meskipun Prabowo kini berada di puncak kekuasaan, persaingan antara kubu Jokowi dan Prabowo masih akan terus berlanjut. Ia memperkirakan bahwa Jokowi dan lingkarannya, termasuk Gibran, akan tetap menjadi kekuatan politik yang signifikan dan berpotensi menciptakan dinamika politik yang terus berkembang dalam pemerintahan Prabowo.
“Politik tidak berada dalam ruang hampa. Ke depan, kita akan melihat bagaimana tarik menarik antara kubu Jokowi-Gibran dan Prabowo Subianto berlangsung,” tutup Refly.
Analisis ini menunjukkan bahwa meskipun Prabowo telah memenangkan Pilpres 2024, ia tetap harus menghadapi berbagai tantangan politik baik dari dalam maupun luar pemerintahannya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok