Repelita Jakarta - Muhammad Kerry Adrianto Riza, anak dari pengusaha minyak ternama Mohammad Riza Chalid, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Persero, Subholding, dan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) pada periode 2018-2023. Kasus ini menyebabkan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun.
Kerry, yang lahir pada 15 September 1986, merupakan sosok berpengaruh di dunia bisnis. Ia menempuh pendidikan di United World College South East Asia (UWC SEA) di Singapura sebelum melanjutkan studinya di Imperial College, University of London, dan lulus dengan gelar BSc Applied Business Management pada 2008.
Ia menikah dengan Atya Irdita Sardadi pada 2015. Kerry tercatat sebagai petinggi di beberapa perusahaan, termasuk Komisaris Utama GAP Capital, Presiden Direktur PT Pelayaran Mahameru Kencana Abadi, dan PT Navigator Khatulistiwa.
Dua perusahaan terakhir tersebut mengoperasikan armada kapal tanker minyak, kapal pengangkut gas, kapal tunda, dan tongkang. Selain itu, Kerry juga merupakan Komisaris Utama klub basket Hangtuah Jakarta dan Presiden Direktur PT Aryan Indonesia, yang mengoperasikan waralaba pusat rekreasi KidZania Jakarta.
Dalam kasus korupsi ini, Kerry ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya, termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin, dan Vice President (VP) Feedstock PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono.
Kasus ini bermula pada 2018 ketika pemerintah mencanangkan pemenuhan minyak mentah dari produksi dalam negeri. Namun, ketiga tersangka diduga melakukan pengkondisian dalam rapat organisasi hilir (ROH) untuk menurunkan produksi kilang, sehingga hasil produksi minyak bumi tidak sepenuhnya terserap.
"Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor," ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar.
Selain itu, mereka juga menolak produksi minyak mentah dalam negeri dari KKKS dengan alasan tidak memenuhi nilai ekonomis dan spesifikasi, padahal kenyataannya berbanding terbalik.
"Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor," jelas Qohar.
Para tersangka diduga melakukan kongkalikong dengan memainkan harga untuk kepentingan pribadi, sehingga merugikan negara sebesar Rp193,7 triliun.
"Sehingga tersangka MKAR (Kerry) mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut," ungkap Qohar.
Kasus ini juga menyebabkan gejolak harga BBM di masyarakat, yang membuat pemerintah harus menanggung biaya subsidi lebih tinggi.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
(*)
Editor: 91224 R-ID Elok