Isu Netralitas Polri Dalam Pilkada 2024: Kontroversi dan Usulan Pemisahan
2 Desember 2024, Jakarta – Isu netralitas aparat keamanan kembali menjadi sorotan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. Tudingan mengenai dugaan operasi politik yang melibatkan Polri untuk menguntungkan kubu tertentu semakin mencuat.
Sejumlah politikus bahkan menyebut Polri dengan julukan "Partai Coklat" terkait dugaan operasi politik tersebut, yang merujuk pada warna seragam aparat kepolisian. Tudingan ini memunculkan kembali wacana mengenai posisi Polri dalam struktur negara, dengan beberapa pihak mengusulkan agar Polri diposisikan kembali di bawah TNI, seperti pada masa Orde Baru.
Penyatuan TNI dan Polri dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1962 dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi dalam menjalankan tugas negara dan menghindari pengaruh kelompok politik tertentu. Namun, tumpang tindih fungsi dan wewenang antara keduanya sering kali menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan tugas. Polri, yang seharusnya berfokus pada keamanan masyarakat, terlibat dalam politik. Begitu pula TNI yang kerap terlibat dalam urusan sipil, yang akhirnya memunculkan kritik mengenai efektivitas model ini.
Proses pemisahan TNI dan Polri dimulai pasca Reformasi 1998, yang kemudian disahkan dengan keputusan Presiden BJ Habibie melalui Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999. Pemisahan ini semakin diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Tujuannya adalah menciptakan institusi yang lebih profesional dan netral.
Namun, dua dekade setelah pemisahan, Polri kembali menjadi sorotan publik pada Pilkada 2024. Istilah "Partai Coklat" muncul setelah Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, menyampaikan kekhawatirannya terkait dugaan keterlibatan Polri dalam pemilu. Hasto menuturkan adanya pergerakan Polri di beberapa wilayah, seperti Jawa Timur dan Sumatera Utara, yang dicurigai berusaha memengaruhi hasil pemilu.
Tudingan ini mendapat tanggapan dari Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, yang menilai isu tersebut sebagai kabar bohong. Ia menegaskan bahwa tuduhan tanpa dasar hanya akan menambah ketegangan politik. Bahkan, ada anggota DPR yang dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena menyebarkan tuduhan tersebut.
Di tengah kontroversi ini, Ketua DPP PDI-P Deddy Yevri Sitorus mengusulkan agar Polri dikembalikan di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Menurutnya, langkah ini diperlukan untuk mengurangi risiko politisasi Polri.
Usulan ini mengundang pro dan kontra. Pemisahan TNI dan Polri yang terjadi pasca Reformasi bertujuan untuk menciptakan institusi yang profesional dan independen dari kepentingan politik. Mengembalikan Polri ke TNI atau Kemendagri berisiko mengembalikan pola otoritarian yang sudah dihapus sejak Reformasi.
Tuduhan terkait "Partai Coklat" ini mencerminkan masih adanya tantangan dalam menerapkan amanat reformasi secara menyeluruh, terutama dalam menjaga netralitas Polri dalam proses politik.
Editor: Elok R-ID