
Agenda pembacaan putusan perkara yang dimohonkan Presiden Kelima RI sekaligus Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri gagal digelar pada Kamis (10/10/2024).
Alasan penundaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dalam perkara No.133/G/TF/2024/PTUN.JKT itu karena majelis hakim Ketua sakit. Sidang putusan pun dijadwalkan ulang pada Kamis (24/10/2024) mendatang.
Pakar Hukum Tata Negara, Prof Jimly Asshiddiqie, menilai majelis hakim PTUN Jakarta bisa dicokok jika membatalkan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Sebab, pelantikan yang dijadwalkan 20 Oktober 2024 itu bersifat final, sehingga tak ada lembaga yang bisa mengubah atau membatalkan.
Menurutnya, PTUN ataupun Mahkamah Agung (MA) sekalipun dianggap tak punya kewenangan mengubah jadwal pelantikan itu, apalagi membatalkan. Sebab, keputusan final dan mengikat sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) dan diatur tegas UUD RI Tahun 1945.
“Misalnya PTUN memutus dengan perintah membatalkan, maka majelis hakimnya wajib ditangkap, diberhentikan, dan bahkan dipenjarakan dengan hukuman sangat terberat, karena telah berkhianat pada negara dengan melawan konstitusi negara,” kata Jimly dilansir dari hukumkonline, Jumat (11/10/2024).
Jimly menyindir jika majelis hakim PTUN Jakarta mau mencoba silakan saja, nanti bakal tercatat sejarah. Hakim PTUN yang memutus pembatalan pelantikan itu bisa ditangkap dan diproses hukum. Biarkan majelis hakim di pengadilan negeri yang menilai. Perlu juga dilaporkan kepada Komisi Yudisial (KY) untuk diproses menuju pemecatan karena tidak profesional dan menyalahgunakan kekuasaan dengan merusak sistem konstitusi.
“Kita harus perjuangkan kesejahteraan hakim, tapi untuk hakim yang tidak becus, kita harus berantas habis. Supaya (jangan) terlalu banyak hakim TUN yang bekerja melampaui kewenangannya,” ujarnya.
Ketua MK Periode 2003-2008 itu mengingatkan putusan PTUN Jakarta belum final dan mengikat. Pasalnya masih terdapat upaya hukum tingkat banding dan kasasi. Putusan PTUN tak perlu dikaitkan dengan jadwal pelantikan 20 Oktober 2024 karena bisa menimbulkan kegaduhan.
Baca juga:
Misteri Akun Fufufafa, Menkominfo Tunggu Waktu Tepat Ungkap Pemilik
Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu periode 2012-2017 itu berpendapat, jika ada yang mau dipersoalkan berkaitan dengan pribadi Wakil Presiden terpilih, maka hal itu bisa diproses sesuai hukum setelah pelantikan. Tapi, proses hukum itu dalam rangka pemakzulan yang diatur tegas mekanismenya dalam UUD RI Tahun 1945 seperti dikutip dari fajar
Jimly Asshiddiqie Dijuluki Profesor Fufufafa
Pakar Hukum Tata Negara, Jimly Asshiddiqie dijuluki Profesor Fufufafa. Itu dilontarkan oleh Eks Sekretaris Badan Usaha Milik Negara Muhammad Said Didu.
“Selamat datang Professor FUFUFAFA,” kata Didu dikutip dari unggahannya di X, Selasa (24/9/2024).
Itu diungkapkan Didu menanggapi pernyataan Jimly yang meminta Fufufafa dilupakan.
Menurut Jimly, sekalipun Gibran benar-benar terbukti di balik akun itu, tapi hal tersebut sudah lama. Yakni Pilpres 2014.
“Misalpun orangnya memang benar, kejadiannya waktu pilpres 10 tahun lalu,” ucapnya.
Menurutnya, persoalan tersebut dilupakan saja.
“Sudahlah lupakan saja, apalagi kalo cuma untuk adu domba presiden terpilih vs wakilnya,” ujarnya.
Di sisi lain, Jimly mengakui Fufufafa merupakan wujuf dari demokrasi yang masih rendah. Melalui unggahan Fufufafa, ada kampanye hitam hingga rasis.
“Cerminan dari tingkat peradaban demokrasi masih rendah& kampungan, sangat didominasi negative & black campaign, nyerang pribadi,” ujarnya.
Akun Kaskus Fufufafa sendiri mencuat ke publik usai viral berbagai unggahannya yang mengkritik presiden terpilih Prabowo Subianto.
Wakil presiden terpilih Gibran disebut di balik akun itu. Namun ia membantahnya.***

