Repelita Jakarta - Organisasi Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) secara resmi mengajukan tuntutan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan fokus utama memaksa lembaga antirasuah tersebut segera memanggil Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution sebagai saksi kunci dalam proses hukum terkait dugaan penyimpangan pengadaan proyek infrastruktur jalan raya di provinsi tersebut, di mana ketidakpatuhan KPK terhadap perintah pengadilan sebelumnya dinilai sebagai bentuk kelalaian yang merugikan upaya penegakan hukum secara keseluruhan.
Gugatan ini, yang terdaftar dengan nomor perkara 157/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL sejak 24 November 2025, mencerminkan frustrasi mendalam dari pihak MAKI atas lambatnya kemajuan penyidikan, terutama karena Bobby Nasution yang memiliki peran strategis sebagai atasan para tersangka belum pernah dihadirkan untuk memberikan keterangan mendalam meskipun majelis hakim Pengadilan Tipikor Medan telah secara eksplisit memerintahkan kehadirannya dalam persidangan terdakwa Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Sumatera Utara Topan Ginting.
Sidang perdana yang semula dijadwalkan untuk membacakan pokok permohonan dari pihak penggugat berlangsung pada Jumat 5 Desember 2025 di bawah pimpinan Hakim Budi Setiawan, di mana Koordinator MAKI Boyamin Saiman hadir secara langsung mewakili pemohon, sementara pihak KPK sebagai termohon justru absen total dari agenda tersebut.
Hakim Budi Setiawan kemudian mengumumkan bahwa pengadilan telah menerima surat resmi dari KPK yang menyatakan permintaan penundaan karena lembaga tersebut masih dalam tahap penyusunan berkas pertahanan yang memadai, sehingga agenda sidang lanjutan pun dipindahkan ke Jumat 12 Desember 2025 pukul 10.00 WIB pagi untuk melanjutkan pembacaan permohonan dan respons dari kedua belah pihak.
Jadi, sidang saya tunda hari Jumat depan pukul 10.00 WIB pagi, ungkap Hakim Budi Setiawan secara singkat usai memimpin persidangan yang berlangsung singkat karena ketidakhadiran termohon.
Dalam substansi gugatannya, MAKI menuntut agar hakim praperadilan memerintahkan KPK untuk segera menyelesaikan penanganan perkara dugaan korupsi tersebut dengan memanggil Bobby Nasution sebagai saksi di tahap penyidikan, karena dugaan kuat bahwa proses hukum telah mandek akibat keputusan internal KPK untuk menghentikan atau memperlambat pemeriksaan terhadap figur berpengaruh tersebut.
Boyamin Saiman menambahkan bahwa kelalaian ini tidak hanya terlihat dari penolakan KPK terhadap perintah Pengadilan Tipikor Medan untuk menghadirkan Bobby di persidangan Topan Ginting, tetapi juga dari ketidakhadiran Gubernur tersebut sebagai saksi penyidikan di tingkat KPK, yang semuanya menunjukkan adanya penelantaran tugas yang dapat menghambat pengungkapan fakta lengkap dalam kasus yang melibatkan kerugian negara mencapai miliaran rupiah.
Penelantaran perkara dalam pokok perkara ini adalah tidak memanggil Bobby sebagai saksi. Bahkan oleh hakim Pengadilan Tipikor Medan diminta untuk dihadirkan, tidak dihadirkan. Terus juga di KPK, Bobby tidak dihadirkan untuk diperiksa di penyidikan, tegas Boyamin Saiman usai sidang, menekankan betapa krusialnya langkah ini untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses penindakan korupsi.
Lebih lanjut, permohonan MAKI juga mencakup tuntutan agar KPK diwajibkan menghadirkan Rektor Universitas Sumatera Utara Muryanto Amin sebagai saksi tambahan dalam persidangan Topan Ginting, mengingat keterkaitan potensialnya dengan alur kebijakan proyek yang diduga bermasalah, di mana keterlambatan pemanggilan kedua tokoh ini dinilai sebagai upaya sistematis untuk melindungi pihak-pihak berwenang dari pengawasan ketat.
Boyamin juga menyoroti anomali mengenai barang bukti berupa uang tunai senilai Rp 2,8 miliar yang disita saat operasi tangkap tangan di kediaman Topan Ginting, yang kini hilang dari daftar dakwaan dan tidak lagi disebutkan dalam proses persidangan, sehingga gugatan ini juga menuntut pertanggungjawaban KPK atas kehilangan aset tersebut yang seharusnya menjadi instrumen kunci untuk mengembalikan kerugian negara.
Sampai kapan pun kalau Bobby belum diperiksa, ya, kita gugat lagi, janji Boyamin Saiman, yang menilai bahwa keterangan dari Bobby Nasution bersifat vital karena posisinya sebagai pemimpin eksekutif provinsi yang langsung mengawasi pelaksanaan anggaran proyek jalan, termasuk potensi jejak kebijakan yang mengarah pada penunjukan penyedia jasa secara tidak prosedural.
Menurut Boyamin, alasan mendesak untuk memeriksa Bobby tidak hanya terletak pada hierarki organisasinya sebagai atasan para terdakwa, tetapi juga pada riwayat karir Topan Ginting yang dipromosikan dari jabatan eselon di tingkat kota Medan ke provinsi Sumatera Utara tanpa melalui seleksi standar, yang diduga melibatkan intervensi dari Bobby, sehingga penggalian keterangan mendalam diperlukan untuk membongkar rantai kongkalikong yang lebih luas.
Terus juga yang berkaitan dengan dia membawa Topan Ginting dari Pemkot Medan langsung ke Sumatera Utara, ke provinsi, dengan jabatan yang sama. Dulu eselon jabatannya itu di tingkat kabupaten, lalu tanpa melalui tahapan-tahapan apa, langsung naik jadi kepala dinas juga. Nah, ini, kan, banyak hal yang membuat indikasi-indikasi itu. Maka Bobby harus diminta keterangan untuk didalami, papar Boyamin, yang melihat pola promosi tersebut sebagai indikasi kuat adanya kolusi yang patut diusut tuntas oleh KPK.
Sebagai latar belakang kasus, KPK melakukan penangkapan Topan Ginting pada 26 Juni 2025 setelah menemukan bukti persekongkolan antara pejabat dinas dengan pelaku usaha swasta, di mana Topan diduga memerintahkan anak buahnya untuk memilih kontraktor tertentu tanpa mengikuti mekanisme lelang terbuka sesuai Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025, dengan imbalan commitment fee mencapai Rp 2 miliar yang dibagi antar pihak terlibat.
Proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara yang menjadi sorotan ini awalnya dialokasikan anggaran sebesar Rp 975 miliar dalam APBD provinsi, namun secara misterius melonjak menjadi Rp 1 triliun tanpa melalui diskusi formal di Badan Anggaran DPRD Sumatera Utara, yang mengaku tidak pernah menyetujui atau mengetahui adanya revisi tersebut, sehingga menimbulkan dugaan manipulasi anggaran untuk kepentingan pribadi atau kelompok.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

