Repelita Banda Aceh - Penulis Balqis Humaira menyamakan hubungan Aceh dengan Indonesia sebagai dinamika ibu dan anak dalam keluarga yang penuh luka emosional akibat janji yang tertunda puluhan tahun.
Menurutnya, tidak ada anak yang lahir dengan niat bertengkar dengan ibunya, begitu pula Aceh yang protes bukan karena kebencian melainkan rasa tidak didengar dan kelelahan menunggu perhatian.
Aceh diposisikan sebagai anak yang sejak kecil banyak mengalah dan patuh, namun setiap kali menyuarakan keinginan selalu dijawab dengan permintaan sabar dan janji nanti.
“Nanti” tersebut telah berlangsung selama puluhan tahun tanpa penyelesaian nyata.
Balqis Humaira menggambarkan Aceh sebagai anak kandung yang ikut membangun rumah Indonesia dari awal kemerdekaan dengan sumbangan emas, logistik, hingga pesawat pertama negara.
Kontribusi historis tersebut tercatat jelas sehingga Aceh masuk ke dalam NKRI bukan sebagai anak angkat melainkan bagian integral yang turut mendirikan fondasi republik.
Relasi sensitif antara Aceh dan pusat disebabkan oleh ikatan keluarga yang membuat luka lebih mudah terinternalisasi.
Pertanyaan umum dari luar Aceh tentang kenapa selalu ribut dijawab bahwa justru anak kandung yang berani menyuarakan ketidakadilan karena merasa aman sebagai bagian rumah.
Aceh berani protes karena keyakinan sebagai anggota keluarga sejati, berbeda dengan anak tiri yang cenderung diam karena takut diusir.
Rasa jauh dengan pusat mulai terasa ketika sumber daya alam Aceh seperti gas Arun menjadi penopang energi nasional namun rakyat setempat merasakan ketimpangan ekstrem.
Data resmi menunjukkan Aceh konsisten berada di urutan provinsi termiskin di Sumatera meski menerima dana otonomi khusus triliunan rupiah setiap tahun.
Tingkat kemiskinan Aceh berada di angka dua digit lebih tinggi dari rata-rata nasional menurut catatan Badan Pusat Statistik.
Pertanyaan mendasar muncul di hati rakyat Aceh tentang kemiskinan di tanah sendiri yang kaya sumber daya.
Kecewaan yang dipendam lama akhirnya meledak menjadi konflik bersenjata bukan karena separatisme semata melainkan akumulasi rasa ditinggalkan.
Tsunami 2004 menjadi titik balik ketika Aceh yang hancur memilih damai dengan syarat negara tidak lagi mengabaikan.
MoU Helsinki lahir sebagai kontrak damai dua arah di mana Aceh menurunkan senjata dan menerima NKRI sepenuhnya sebagai imbalan otonomi luas serta keadilan ekonomi.
Dana otonomi khusus sejak 2008 mencapai ratusan triliun secara kumulatif namun banyak temuan audit menunjukkan masalah pengelolaan dan penyelewengan oleh elit.

Rakyat Aceh merasa dana besar tersebut tidak berdampak langsung pada kesejahteraan sehingga keluhan tetap muncul.
Balqis Humaira menilai tuntutan Aceh sering dianggap rewel padahal merupakan upaya dewasa untuk menyelesaikan masalah sebelum hubungan rusak permanen.
Anak yang benar-benar putus asa justru akan diam total tanpa tuntutan lagi.
Mayoritas masyarakat Aceh saat ini tidak menginginkan perang atau pemisahan melainkan penghargaan sebagai bagian keluarga sejati.
Kritik terhadap Aceh yang direspons dengan kecurigaan justru memperlebar jarak emosional.
Pengangguran tinggi terutama di kalangan muda mendorong banyak perantau karena keterbatasan peluang di tanah sendiri.
Aceh terus bersuara untuk menagih janji MoU yang dijalankan penuh serta otonomi nyata bukan sekadar di atas kertas.
Balqis Humaira menyimpulkan bahwa negara runtuh bukan karena anak cerewet melainkan karena terlalu lama mengabaikan suara anak sendiri.
Editor: 91224 R-ID Elok

