
Penulis: Rina Syafri
Forum publik pada September 2025 mempertemukan dua tokoh dengan pendekatan berbeda terhadap isu ekonomi: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan pengamat politik Rocky Gerung. Dalam dua kesempatan, keduanya saling menyindir, memperlihatkan ketegangan antara narasi teknokratis dan kritik terhadap realitas sosial.
Purbaya menampilkan grafik pertumbuhan ekonomi sebagai bukti keberhasilan pemerintah. Ia menyebut bahwa pemulihan pasca-pandemi bukan proses alamiah, melainkan hasil intervensi aktif Presiden Jokowi. Ia mengklaim bahwa pada 2020, saat ekonomi terpuruk hingga minus 15 persen, Jokowi memanggilnya ke Istana untuk memperbaiki kondisi fiskal. “Posisi uang waktu itu hampir hancur, kita paksa naikkan,” ujarnya dalam forum Great Lecture Transformasi Ekonomi Nasional.
Namun grafik yang menanjak tidak serta-merta mencerminkan perbaikan nyata dalam kehidupan rakyat. Pertumbuhan ekonomi tidak cukup dibaca dari angka makro. Ia harus diuji dari dampaknya terhadap kelompok rentan, sektor informal, dan wilayah tertinggal. Purbaya sendiri mengakui bahwa tekanan ekonomi pada 2023–2024 menyebabkan PHK massal dan keresahan sosial. Ia menyebut bahwa jika ekonomi tidak ditangani serius, masyarakat akan turun ke jalan.
Dalam forum tersebut, Purbaya menyindir Rocky Gerung agar lebih memahami ekonomi secara teknis. “Pidato Anda menarik sekali, Pak Rocky. Tapi biar adil, saya kritik balik. Jadi Pak Rocky, sedikit belajar ekonomi lagi,” ucapnya sambil tertawa. Meski bernada ringan, sindiran itu menunjukkan jarak antara elit kebijakan dan suara publik.
Sindiran semacam itu berisiko mengaburkan substansi diskusi. Ketika kritik dijawab dengan ejekan, ruang publik kehilangan kedalaman. Padahal, kritik terhadap kebijakan ekonomi seharusnya dijawab dengan data terbuka dan analisis jujur, bukan dengan merendahkan lawan bicara.
Rocky Gerung merespons dengan menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi tidak bisa dijelaskan semata lewat pendekatan moneter. Ia menekankan pentingnya kementerian teknis dalam mendorong sektor riil, serta mengkritisi keberadaan figur lama dalam kabinet. Menurutnya, kebijakan ekonomi harus diuji bukan hanya dari isi program, tetapi dari struktur kekuasaan yang melahirkannya.
Pertanyaan Rocky tentang kredibilitas grafik mencerminkan keresahan masyarakat terhadap transparansi dan akuntabilitas. Grafik bisa dibuat indah, tetapi apakah publik percaya? Validitas data ekonomi tidak hanya soal metodologi, tetapi juga soal kepercayaan publik terhadap institusi yang menyusunnya.
Pemerintah sering mengklaim keberhasilan lewat indikator makro seperti PDB dan inflasi. Namun indikator-indikator tersebut tidak selalu mencerminkan kondisi riil. Banyak warga tetap kesulitan mengakses pekerjaan layak, pendidikan, dan layanan kesehatan. Ketimpangan sosial tetap tinggi, dan daya beli belum sepenuhnya pulih.
Di sisi lain, kritik publik terhadap kebijakan ekonomi sering dianggap sebagai pembangkangan. Padahal, suara publik adalah cerminan pengalaman langsung atas dampak kebijakan. Ketika masyarakat mempertanyakan efektivitas program bantuan sosial atau proyek infrastruktur, mereka tidak sedang menolak pembangunan, melainkan meminta agar pembangunan menyentuh kebutuhan mereka.
Rocky Gerung, dengan gaya retorisnya, mewakili keresahan publik yang tidak terwakili dalam grafik. Ia mempertanyakan bukan hanya isi kebijakan, tetapi juga siapa yang diuntungkan oleh kebijakan tersebut. Apakah kebijakan ekonomi dibuat untuk rakyat, atau untuk menjaga stabilitas politik dan kepentingan elite?
Statistik bisa menjadi alat pembenaran, tetapi juga bisa menjadi cermin ketimpangan jika dibaca dengan jujur. Ketika grafik ekonomi digunakan sebagai tameng, bukan sebagai alat evaluasi, maka kebijakan kehilangan arah dan makna.
Kebijakan ekonomi yang baik bukan hanya soal angka, tetapi soal keberpihakan. Ia harus menjawab kebutuhan masyarakat, bukan sekadar memenuhi target institusi. Ketika publik tidak lagi percaya pada data, maka yang runtuh bukan hanya grafik, tetapi legitimasi negara.
Pemerintah perlu membuka diri terhadap kritik, bukan merespons dengan sindiran. Kritik tajam bukan ancaman, melainkan pengingat bahwa kebijakan harus berpijak pada kenyataan. Sementara pengamat perlu menyampaikan argumen dengan basis yang kuat dan konstruktif.
Keseimbangan antara data dan kepercayaan publik adalah fondasi utama dalam membangun kebijakan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Tanpa itu, grafik hanya akan menjadi hiasan, bukan cerminan kemajuan.(*)

