Repelita Jakarta - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kembali menjadi sorotan publik.
Kali ini, perhatian tertuju pada pengangkatan tiga puluh wakil menteri yang juga menduduki kursi komisaris di sejumlah BUMN.
Pemerhati sosial politik, Nurmadi H Sumarta, menilai kebijakan tersebut tidak sekadar pembagian tugas.
Ia memandang hal ini sebagai bentuk balas budi politik.
Menurutnya, pola semacam ini pernah muncul di era sebelumnya dengan dalih membalas jasa tim sukses dan relawan.
Nurmadi menyebut kabinet gemuk ini tidak sesuai dengan kebutuhan negara.
Ia mengingatkan bahwa rangkap jabatan bukan hanya tidak etis, tetapi juga berpotensi menyalahi aturan.
Nurmadi mengutip Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Pasal tersebut menegaskan larangan bagi menteri merangkap jabatan lain.
Mahkamah Konstitusi pun sudah menegaskan hal serupa melalui putusan nomor 80/PUU-XVII/2019.
Putusan ini dipertegas lagi dalam Putusan 21/PUU-XXIII/2025.
Larangan rangkap jabatan itu juga berlaku bagi posisi wakil menteri.
Nurmadi mempertanyakan kesibukan para wamen yang kini merangkap jabatan komisaris.
Ia menyindir jabatan ganda ini justru membuka celah mencari penghasilan tambahan.
Nurmadi sependapat dengan Feri Amsari, pakar hukum tata negara, yang menyatakan kebijakan rangkap jabatan bisa digugat ke PTUN.
Ia menekankan bahwa wamen harus fokus pada tugas negara, bukan rangkap di posisi lain.
Menurutnya, jabatan komisaris BUMN memiliki tanggung jawab berbeda yang rawan konflik kepentingan.
Nurmadi menegaskan Presiden Prabowo tidak perlu menunggu gugatan hukum untuk bertindak.
Ia meminta pemerintah menaati aturan dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Baginya, tertib hukum harus dijunjung tinggi tanpa menunggu tekanan publik.
Nurmadi berharap Prabowo segera mengevaluasi kebijakan ini agar pemerintahan tetap kredibel di mata rakyat.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

