
Repelita Jakarta - Pakar hukum pidana Universitas Tarumanegara, Hery Firmansyah, angkat bicara terkait alasan hakim yang menjatuhkan vonis pada mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
Hery menyoroti pertimbangan majelis hakim yang memasukkan unsur kebijakan ekonomi kapitalis dalam vonis kasus impor gula kristal mentah tersebut.
Menurut Hery, teori apa pun, termasuk kapitalisme, bisa digunakan untuk mendukung posisi tertentu, tergantung bagaimana perspektifnya dibangun.
Ia menilai keputusan hakim seharusnya hanya berlandaskan fakta hukum yang terungkap di persidangan, bukan pada teori ekonomi yang dapat ditafsirkan luas.
“Jadi, sebenarnya teorinya bisa apa saja untuk mendukung ke sana. Masalahnya kan positioningnya berarti untuk mendukung bahwa apa yang dilakukan ini sudah masuk sebagai suatu kejahatan, suatu tindak pidana,” kata Hery dalam siniar bersama Akbar Faizal, dikutip Selasa 22 Juli 2025.
Hery menjelaskan, teori kapitalisme bisa diarahkan ke mana saja, tetapi penentuan bersalah atau tidaknya harus mengacu pada pembuktian dakwaan jaksa.
Ia berpendapat, hakim seharusnya fokus pada unsur pasal yang terbukti, bukan pada wacana kebijakan.
Dalam sidang putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat 18 Juli 2025, Hakim Alfis Setiawan menyebut Tom Lembong lebih mengutamakan pendekatan ekonomi kapitalis saat menjabat Menteri Perdagangan.
Hakim berpendapat kebijakan itu tidak selaras dengan sistem demokrasi ekonomi berdasarkan UUD 1945, yang mengutamakan keadilan sosial.
Selain itu, Tom dinilai tidak menjalankan tugas secara akuntabel dan bertanggung jawab dalam menjaga stabilitas harga gula di pasar.
Majelis hakim mencatat harga gula kristal putih tetap tinggi selama periode kebijakan Tom, yaitu Rp13.149 per kilogram pada Januari 2016 hingga Rp14.213 per kilogram pada Desember 2019.
Sementara itu, poin yang meringankan vonis Tom adalah statusnya yang belum pernah dihukum, sikap sopan selama persidangan, serta tidak menikmati langsung hasil kejahatan.
Tom juga telah menitipkan uang pengganti kerugian negara melalui Kejaksaan Agung.
Majelis hakim akhirnya menjatuhkan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta, lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut 7 tahun penjara.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

