Repelita Jakarta - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengkritik tajam praktik pertambangan di Indonesia yang menurutnya tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat lokal, melainkan hanya menyisakan kerusakan lingkungan dan kemiskinan.
Dalam unggahan media sosialnya, Dedi menegaskan bahwa keyakinan umum soal tambang sebagai pintu kemajuan adalah keliru.
Ia menyebut pengalaman memimpin Jawa Barat membuktikan bahwa wilayah yang dijadikan lokasi tambang justru tak menunjukkan perkembangan signifikan bagi rakyatnya.
“Alih-alih makmur, mereka justru makin terpinggirkan,” ujarnya.
Pernyataan Dedi muncul setelah sorotan terhadap tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang memperlihatkan betapa lemahnya tata kelola sektor tambang nasional.
Empat perusahaan swasta memang telah dicabut izinnya, namun satu anak usaha BUMN, PT Gag Nikel, masih beroperasi di kawasan tersebut.
Menurut Dedi, praktik pertambangan seperti ini bukan hanya tidak membawa manfaat, tapi juga membebani masa depan dengan kerusakan ekologis yang nyaris tak bisa dipulihkan.
Ia mengingatkan bahwa beberapa negara yang kaya sumber daya justru mengalami stagnasi ekonomi dan konflik berkepanjangan.
Fenomena itu dikenal sebagai "kutukan sumber daya".
Negara-negara seperti Zimbabwe, Nigeria, Venezuela, dan Republik Demokratik Kongo pernah berjaya karena kekayaan alam, namun justru tenggelam dalam korupsi, krisis, hingga perang saudara akibat eksploitasi tambang yang tidak terkendali.
Zimbabwe, misalnya, menemukan berlian di Marange pada tahun 2000.
Namun, keuntungan tambang justru dinikmati elite politik dan militer.
Ekspor berlian mencapai miliaran dolar, tapi hanya sebagian kecil masuk ke kas negara.
Nigeria pun menghadapi kerusakan besar pada ekosistem akibat tumpahan minyak, sementara korupsi dan konflik bersenjata terus menggerogoti negara tersebut.
Venezuela, dengan cadangan minyak terbesar dunia, kini dililit krisis ekonomi dan politik akibat ketergantungan pada ekspor minyak serta korupsi sistemik.
Di Republik Demokratik Kongo, penambangan kobalt dan emas telah menyebabkan deforestasi, pelanggaran HAM, hingga kemiskinan akut, meskipun sumber daya alamnya sangat melimpah.
Angola juga tak luput dari kutukan ini.
Kekayaan berlian dan minyak di sana justru memicu penambangan ilegal dan kekerasan, sementara ekonomi sangat bergantung pada harga minyak global.
Guyana, negara kecil dengan cadangan minyak besar, kini mulai dilanda gejala awal kutukan sumber daya seperti ketimpangan dan kenaikan biaya hidup.
Papua Nugini mengalami kerusakan sungai sejak 1984 akibat pembuangan limbah tambang.
Sementara itu, Nauru, yang pernah menjadi negara terkaya per kapita di dunia karena ekspor fosfat, kini nyaris jadi gurun tandus dan hidup dari bantuan luar negeri.
Dedi menilai Indonesia tak boleh mengikuti jejak negara-negara tersebut.
Ia mendorong tata kelola sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada kelestarian lingkungan serta kesejahteraan rakyat banyak. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok