Repelita Jakarta - Seorang mahasiswi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berinisial SSS ditangkap oleh pihak Bareskrim Polri setelah mengunggah meme yang menampilkan Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo dalam adegan berciuman.
Meme ini dianggap melanggar norma kesusilaan dan dianggap menyebarkan informasi yang tidak pantas melalui media sosial.
Sebagai akibat dari perbuatannya, SSS dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia terancam hukuman penjara hingga 12 tahun dan denda mencapai Rp12 miliar.
Sementara itu, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyatakan bahwa Presiden Prabowo tidak pernah melaporkan atau menuntut pihak yang mengkritiknya.
Menurut Hasan, Presiden lebih memilih untuk menggunakan pendekatan persuasif, terutama terhadap generasi muda yang masih dalam tahap pembelajaran.
Hasan juga menambahkan bahwa tindakan hukum sebaiknya menjadi langkah terakhir. Ia menekankan bahwa pembinaan lebih diutamakan sebagai solusi yang lebih membangun.
Pihak kampus, melalui Direktur Komunikasi dan Humas ITB, Nurlaela Arief, mengonfirmasi bahwa SSS adalah mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain. ITB telah melakukan koordinasi dengan berbagai pihak untuk memastikan pendampingan hukum dan psikologis kepada SSS.
Orang tua SSS turut hadir di kampus untuk menyampaikan permohonan maaf atas perbuatan anak mereka.
Kasus ini menimbulkan perdebatan di masyarakat mengenai kebebasan berekspresi dan penerapan UU ITE. Beberapa pihak merasa bahwa penangkapan ini mencerminkan bentuk pembungkaman terhadap kritik politik.
Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa tindakan tersebut sudah melampaui batas dan tidak dapat dibenarkan.
Amnesty International Indonesia telah mengeluarkan pernyataan yang mendesak pihak kepolisian untuk membebaskan SSS dan menghentikan proses hukum yang berjalan.
Amnesty menilai bahwa tindakan SSS merupakan bentuk ekspresi yang dilindungi oleh hak asasi manusia.
Proses hukum terhadap SSS saat ini masih berlangsung. Pihak kepolisian berjanji akan menjalani proses penyidikan dengan transparan dan profesional.
Kasus ini menjadi pembelajaran penting bagi masyarakat tentang batasan kebebasan berekspresi di era digital.
Kebebasan berpendapat perlu diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak merugikan individu atau kelompok lain.
Editor: 91224 R-ID Elok