Repelita Jakarta – Kontroversi seputar keaslian dokumen pejabat negara kembali mengemuka.
Kali ini, sorotan publik mengarah pada Presiden Joko Widodo, yang dituduh menggunakan ijazah palsu.
Isu ini mengingatkan pada polemik serupa yang sempat dialami oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, terkait asal-usul akta kelahirannya.
Dalam sistem demokrasi, legalitas dokumen pribadi pejabat merupakan syarat mendasar untuk memastikan legitimasi kekuasaan.
Jika dokumen tersebut diragukan, hal ini tidak hanya memengaruhi ranah administrasi, tapi juga meruntuhkan kepercayaan terhadap pemilu dan konstitusi.
Di Amerika Serikat, kasus Obama dijawab dengan langkah transparan oleh otoritas Hawaii.
Pemerintah setempat merilis dua versi akta kelahiran untuk menjernihkan keraguan publik.
Tidak ada kriminalisasi terhadap pihak-pihak yang mempertanyakan, melainkan pendekatan terbuka dan informatif.
Sementara itu, di Indonesia, penyelesaian kasus dugaan ijazah palsu Jokowi tampak tidak menemui kejelasan.
Walaupun kasus ini telah dilimpahkan ke Bareskrim Polri, dokumen asli dari Universitas Gadjah Mada belum pernah dipublikasikan secara resmi kepada publik.
Alih-alih terbuka, pihak-pihak yang mencoba mencari kejelasan justru dilaporkan secara hukum, dan mengalami tekanan serta pembatasan dalam mengakses informasi.
Padahal, Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak warga negara untuk memperoleh informasi yang akurat, termasuk informasi mengenai dokumen publik milik pejabat negara.
Tindakan hukum terhadap upaya klarifikasi justru memperburuk citra pemerintah dalam hal keterbukaan informasi.
Kasus ini menunjukkan perbedaan mencolok dalam cara negara menyikapi kritik publik.
Di satu sisi, transparansi dapat menjadi alat untuk memperkuat kepercayaan terhadap negara.
Di sisi lain, sikap tertutup hanya akan memperbesar kecurigaan dan mengikis legitimasi pemerintahan.
Permasalahan ini bukan sekadar soal administrasi pribadi, tetapi menyentuh inti kualitas demokrasi dan kepatuhan terhadap prinsip negara hukum.
Jika tidak diselesaikan dengan terbuka dan adil, krisis kepercayaan terhadap proses demokrasi dan institusi negara akan terus membesar.*
Editor: 91224 R-ID Elok