Repelita Jakarta – Penahanan seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS oleh Bareskrim Polri menuai sorotan publik.
SSS ditangkap karena mengunggah meme yang menampilkan Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo dalam pose yang dianggap tidak pantas.
Meme tersebut diunggah melalui akun media sosial X miliknya.
Penangkapan dilakukan di indekos SSS di Jatinangor, Sumedang, tanpa adanya pemanggilan sebelumnya.
Pihak kepolisian menetapkan SSS sebagai tersangka dan menahannya di Rumah Tahanan Bareskrim Polri.
SSS dijerat dengan Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) dan/atau Pasal 51 ayat (1) juncto Pasal 35 UU ITE.
Ancaman hukuman maksimal mencapai 12 tahun penjara.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai penahanan tersebut sebagai tindakan yang berlebihan.
Menurutnya, penahanan terhadap mahasiswa atas unggahan meme merupakan bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi.
Fickar menyarankan agar pendekatan yang lebih edukatif dan persuasif diterapkan dalam kasus ini.
Pihak ITB melalui Wakil Rektor Bidang Komunikasi, Kemitraan, Kealumnian, dan Administrasi, Dr. Andryanto Rikrik Kusmara, menyatakan telah berkomunikasi dengan keluarga SSS.
Orang tua SSS telah menyampaikan permintaan maaf atas tindakan anaknya.
ITB meminta agar proses pembinaan dilakukan di lingkungan kampus, bukan melalui jalur hukum pidana.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdikt) juga angkat bicara.
Sekretaris Jenderal Kemdikt, Togar Mangihut Simanjuntak, menyarankan ITB untuk mengajukan permohonan penundaan penahanan SSS.
Togar menekankan pentingnya peran kampus dalam membina mahasiswa, terutama dalam kasus yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi.
Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi, menyatakan bahwa pemerintah lebih memilih pendekatan pembinaan terhadap SSS.
Hasan menilai bahwa sebagai anak muda, SSS masih dapat dibina agar lebih bijak dalam menyampaikan kritik.
Ia juga menegaskan bahwa penangkapan SSS bukan atas perintah Presiden Prabowo.
Ketua Keluarga Mahasiswa ITB, Farell Faiz, mengecam penahanan SSS sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.
Farell menuntut agar SSS dibebaskan dan diberikan ruang untuk menyampaikan pendapatnya secara konstruktif.
Kasus ini menimbulkan perdebatan mengenai batasan kebebasan berekspresi dan penegakan hukum di Indonesia.
Banyak pihak menilai bahwa penahanan SSS tidak proporsional dan dapat menciptakan preseden buruk bagi demokrasi.
Diperlukan pendekatan yang lebih bijak dan edukatif dalam menangani kasus-kasus serupa di masa depan.*
Editor: 91224 R-ID Elok