Repelita Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini menghadapi tantangan besar dalam menindaklanjuti dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan direksi dan komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Hal ini menyusul disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN yang mengubah status hukum para pengurus BUMN tersebut.
Pasal 9G dalam UU BUMN yang baru menyatakan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Aturan ini berdampak langsung pada kewenangan KPK, yang selama ini memiliki kewenangan untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara.
Dengan perubahan status tersebut, KPK tidak lagi memiliki dasar hukum untuk menindaklanjuti kasus korupsi yang melibatkan direksi dan komisaris BUMN.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, mengungkapkan bahwa pihaknya akan melakukan kajian mendalam terkait dampak dari perubahan status hukum ini terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Kajian ini melibatkan Biro Hukum dan Kedeputian Penindakan KPK untuk menilai sejauh mana perubahan ini mempengaruhi kewenangan dan tugas pokok KPK dalam memberantas korupsi di sektor BUMN.
Sebelumnya, Menteri BUMN, Erick Thohir, telah melakukan pertemuan dengan pimpinan KPK pada 29 April 2025 untuk membahas sinkronisasi antara UU BUMN yang baru dengan kewenangan KPK.
Dalam pertemuan tersebut, Erick menekankan pentingnya koordinasi antara kedua lembaga untuk memastikan bahwa meskipun status hukum direksi dan komisaris BUMN berubah, upaya pemberantasan korupsi tetap berjalan efektif.
Namun, perubahan status ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas pengawasan dan penegakan hukum di sektor BUMN.
Pasalnya, meskipun kerugian yang dialami oleh BUMN tidak lagi dikategorikan sebagai kerugian negara, hal ini tidak serta merta menghapuskan potensi tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara.
Beberapa pihak berpendapat bahwa perubahan ini dapat membuka celah bagi praktik korupsi yang lebih sulit untuk ditindaklanjuti secara hukum.
Di sisi lain, mantan Dewan Pengawas KPK, Albertina Ho, menilai bahwa meskipun kerugian BUMN tidak lagi dianggap sebagai kerugian negara, masih terdapat celah hukum yang memungkinkan direksi dan komisaris BUMN untuk dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Menurutnya, hal ini bergantung pada apakah terdapat unsur-unsur tertentu yang memenuhi kriteria dalam UU Tipikor, seperti adanya niat jahat atau penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara.
Dengan demikian, meskipun UU BUMN yang baru memberikan perubahan signifikan dalam status hukum direksi dan komisaris BUMN, tantangan dalam pemberantasan korupsi di sektor BUMN tetap ada.
Perlunya kajian lebih lanjut dan koordinasi antara KPK, Kementerian BUMN, serta lembaga terkait lainnya menjadi kunci untuk memastikan bahwa upaya pemberantasan korupsi tetap berjalan efektif dan tidak terhambat oleh perubahan regulasi.
Editor: 91224 R-ID Elok