Repelita Jakarta -
Amerika Serikat telah lama dikenal sebagai negara yang cenderung menganut sistem protektif, bukan penganut pasar bebas seperti yang sering diasumsikan banyak orang.
Pada 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memberlakukan tarif impor resiprokal yang mengejutkan dunia.
Hampir seluruh negara mitra dagang, termasuk sekutu-sekutu utama seperti Uni Eropa, Inggris, Kanada, dan Jepang, menjadi sasaran tarif ini.
Indonesia, misalnya, dikenakan tarif resiprokal sebesar 32 persen untuk seluruh produk impor, ditambah tarif dasar sebesar 10 persen, yang totalnya menjadi 42 persen.
China, Vietnam, India, Pakistan, dan sejumlah negara lainnya juga mengalami peningkatan tarif serupa.
Reaksi dunia cukup keras, dengan banyak yang menganggap kebijakan ini tidak rasional, mengingat Amerika Serikat, sebagai negara kapitalis terbesar dunia, dikenal dengan paham ekonomi liberal dan pasar bebas ala Adam Smith.
Namun, seperti yang dijelaskan oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), kebijakan tarif ini bukanlah hal yang mengejutkan jika dilihat dari sejarah ekonomi Amerika Serikat.
Sejak kemerdekaannya, Amerika Serikat tidak pernah benar-benar menganut sistem ekonomi pasar bebas.
Sebaliknya, negara ini telah lama menganut paham merkantilisme atau sistem ekonomi protektif yang bertujuan untuk melindungi dan memperkuat industri domestiknya.
Salah satu tonggak awal dari kebijakan ini adalah pada tahun 1790, ketika Menteri Keuangan pertama AS, Alexander Hamilton, mengusulkan peningkatan tarif impor untuk melindungi dan memperkuat industri dalam negeri.
Hal ini dituangkan dalam laporan yang dikenal dengan nama Report on Manufactures, yang menjadi landasan bagi kebijakan proteksi yang kemudian diterapkan oleh banyak presiden AS.
Sistem protektif ini terus berlanjut selama lebih dari satu abad, dengan tarif impor yang terus meningkat hingga mencapai lebih dari 60 persen pada akhir abad ke-19.
Namun, kebijakan tarif yang diterapkan oleh Amerika Serikat juga tidak lepas dari tantangan internal.
Pada awal 1830-an, negara bagian Carolina Selatan menolak kenaikan tarif yang dinilai merugikan ekonomi pertanian mereka, yang memicu ketegangan dengan pemerintahan federal.
Hal ini akhirnya berkontribusi pada meletusnya perang saudara pada 1861.
Meskipun begitu, kebijakan tarif tetap dipertahankan, bahkan dianggap sebagai salah satu faktor yang menguatkan ekonomi Amerika Serikat.
Anthony Budiawan juga mengutip pernyataan Abraham Lincoln yang mengatakan, "Give us a protective tariff, and we shall have the greatest nation on earth."
Sejarah membuktikan bahwa kebijakan proteksi dan subsidi telah berhasil membawa Amerika Serikat menjadi negara industri terkuat di dunia, mengalahkan Inggris dan negara-negara Eropa lainnya.
Hal ini terbukti ketika Amerika Serikat berhasil menjadi raksasa industri, terutama dalam bidang pertahanan, selama dua perang dunia.
Pada abad ke-20, Amerika Serikat mulai menurunkan tarif impornya sebagai bagian dari upaya membangun ekonomi dunia pasca-perang.
Namun, meskipun tarif impor AS menurun, prinsip proteksionisme tetap menjadi bagian dari kebijakan ekonomi negara tersebut.
Dalam periode kepresidenan Donald Trump, tarif impor kembali meningkat, dengan fokus pada negara-negara seperti China.
Meskipun beberapa pihak menganggap kebijakan Trump ini sebagai gertakan, Anthony Budiawan menekankan bahwa hal ini adalah kelanjutan dari tradisi panjang Amerika Serikat dalam menerapkan kebijakan protektif, bahkan jika itu berarti harus menanggung risiko perang atau ketegangan diplomatik.
Sejarah tarif AS membuktikan bahwa Amerika Serikat memiliki kecenderungan alami untuk menjalankan sistem ekonomi protektif.
Negara ini berani menghadapi risiko, termasuk konflik internasional, untuk melindungi kepentingan ekonomi dalam negerinya.
Para pemimpin dari partai Republik, termasuk Donald Trump, dikenal lebih "militan" dalam membela kepentingan ekonomi negara mereka.
Oleh karena itu, bagi siapa saja yang berharap bahwa kebijakan tarif Trump hanya gertakan belaka, perlu belajar dari sejarah agar bisa memahami dengan lebih baik posisi dan perundingan dengan Amerika Serikat.
Editor: 91224 R-ID Elok