Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Menko Kesehatan Dikecam, Sistem Pendidikan Dokter Spesialis Dianggap Gagal dan Rugikan Generasi Medis Indonesia

 Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma  Produksi 2.700

Repelita Jakarta – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS) kembali menjadi sorotan publik setelah serangkaian kebijakan dan pernyataannya terkait Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.

Dalam beberapa minggu terakhir, BGS dianggap melakukan blunder yang tidak hanya kontroversial, tetapi juga berpotensi merusak tatanan ketahanan nasional.

Salah satu kebijakan yang mendapat kritik adalah penghentian program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Anestesi di RS Kariadi Semarang. Langkah ini diambil menyusul dugaan permasalahan di kedua rumah sakit tersebut.

Namun, banyak pihak menilai penghentian seluruh program pendidikan sebagai langkah yang berlebihan dan tidak proporsional. Tindakan ini dinilai merugikan banyak pihak, termasuk peserta didik yang harus menanggung beban tambahan akibat molornya masa pendidikan dan peningkatan biaya.

Selain itu, BGS juga mengungkap adanya 632 kasus praktik perundungan dan dugaan pungutan liar (pungli) dalam PPDS di berbagai rumah sakit dan institusi pendidikan di Indonesia. Temuan ini berasal dari ribuan pengaduan yang masuk.

Bentuk perundungan fisik dan psikologis yang dialami peserta didik pun sangat meresahkan. Bahkan, beberapa dokumentasi perundungan disebar ke publik.

BGS juga menyebutkan bahwa sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia sangat memberatkan peserta didik. Berbeda dengan negara lain, di Indonesia, calon dokter spesialis harus berhenti bekerja, membayar uang pangkal hingga ratusan juta rupiah, dan dilarang mencari penghasilan selama masa pendidikan.

Setelah lulus, mereka harus melamar kembali untuk bekerja. Hal ini menyebabkan lambatnya produksi dokter spesialis di Indonesia.

Dalam menghadapi kritik tersebut, BGS menyatakan bertanggung jawab atas kasus perundungan dan kekerasan lain yang terjadi di lingkup PPDS.

Ia berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) untuk memperbaiki proses pendidikan di rumah sakit.

Ia juga mengakui bahwa Kemenkes sempat melepas tanggung jawab atas masalah tersebut karena melibatkan universitas dan Kemendikti Saintek. Namun, kini ia menyadari bahwa Kemenkes seharusnya turut berperan dalam merapikan proses pendidikan di rumah sakit.

Kritik terhadap BGS juga datang dari anggota Komisi XI DPR, Uya Kuya, yang mengungkapkan adanya tindakan bullying yang dilakukan oleh dokter senior terhadap juniornya.

Ia menyebutkan bahwa ada dokter senior yang menendang testis juniornya dan meminta uang Rp500 juta serta biaya clubbing.

Uya Kuya menekankan pentingnya pembentukan tim Satgas Anti-bullying yang terdiri dari Polri, TNI, hingga KPK untuk mengusut tuntas perkara kekerasan di lingkungan mahasiswa PPDS di tanah air.

Kebijakan dan pernyataan BGS yang kontroversial ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen pemerintah dalam memperbaiki sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia.

Apakah langkah-langkah yang diambil sudah tepat dan adil bagi semua pihak yang terlibat?

Ataukah kebijakan ini justru memperburuk keadaan dan merugikan banyak pihak? Publik menantikan langkah konkret dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini secara transparan dan profesional.(*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved