Repelita Yogyakarta - Isu keaslian ijazah Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, kembali mencuat di media sosial X dan memicu perdebatan publik.
Kali ini, seorang mantan dosen Universitas Mataram, Rismon Hasiholan Sianipar, mempertanyakan bukti kelulusan Jokowi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Ia menyoroti penggunaan jenis huruf (font) dalam lembar pengesahan dan sampul skripsi Jokowi yang dinilainya belum dikenal pada era 1980–1990-an.
Rumor ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak dua tahun lalu, isu ijazah Jokowi sudah beberapa kali digugat ke pengadilan, dan seluruhnya dimenangkan oleh pihak Jokowi.
Namun, meski selalu menang di pengadilan, pihak kuasa hukum Jokowi memilih untuk tidak mempublikasikan ijazah asli sang Presiden.
"Kami tidak akan menunjukkan ijazah asli Pak Jokowi kecuali berdasarkan hukum dan dimintakan oleh pihak-pihak yang berwenang seperti pengadilan," ujar Yakup Hasibuan, kuasa hukum Jokowi.
Ia menegaskan bahwa Jokowi bersedia menunjukkan ijazah aslinya hanya dalam proses hukum yang sah.
Kuasa hukum lainnya, Rivai Kusumanegara, menyebut bahwa permintaan menunjukkan ijazah seringkali dimanfaatkan bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk menyudutkan.
"Sejak dua tahun lalu kami sudah sepakat tidak menunjukkan ijazah aslinya, meskipun kami semua sudah melihat fisiknya langsung," ucap Rivai.
Ia menyebut, ketika UGM memperlihatkan salinan ijazah Jokowi, justru muncul tuduhan-tuduhan baru, seperti masalah font dan foto.
"Yang terjadi bukan klarifikasi, tapi muncul isu baru. Ini sudah sesuai dugaan kami, hanya jebakan batman," tambahnya.
Menanggapi isu tersebut, Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta, menegaskan bahwa ijazah Jokowi adalah asli.
"Beliau pernah kuliah di sini. Teman satu angkatan mengenal baik beliau, dan beliau aktif di organisasi mahasiswa Silvagama," kata Sigit.
Terkait font yang dipermasalahkan, ia menegaskan bahwa Times New Roman atau font serupa memang sudah digunakan di percetakan sekitar kampus pada era tersebut.
"Di tahun itu sudah umum digunakan font Times New Roman, terutama untuk mencetak sampul dan lembar pengesahan," ujarnya.
Sigit menyebut percetakan Prima dan Sanur di sekitar UGM telah menyediakan jasa cetak tersebut sejak lama.
Ia juga menjelaskan bahwa nomor ijazah Jokowi yang dianggap tidak lazim karena tidak memiliki klaster, merupakan sistem penomoran internal Fakultas Kehutanan saat itu.
"Belum ada standarisasi universitas saat itu. Nomor tersebut adalah urutan kelulusan ditambah kode fakultas FKT," katanya.
Ketua Senat Fakultas Kehutanan UGM, San Afri Awang, turut memberi kesaksian bahwa dirinya juga menggunakan jasa cetak yang sama untuk skripsinya.
"Di zaman itu sudah ada tempat cetak sampul yang terkenal, seperti Prima dan Sanur," ucapnya.
Ia menambahkan bahwa penggunaan komputer untuk pengetikan juga sudah ada di sekitar UGM saat itu, termasuk komputer IBM PC.
"Jangan heran, sudah ada jasa pengetikan pakai komputer di sekitar UGM sejak lama," ujarnya.
San Afri menyebut bahwa tidak semua mahasiswa mencetak sampul secara profesional.
Beberapa mahasiswa yang kurang mampu mencetak sampul dan lembar pengesahan dengan mesin ketik manual.
"Teman-teman saya yang kondisi ekonominya pas-pasan banyak yang memakai mesin ketik," katanya.
Sejumlah warganet juga turut menanggapi isu ini.
“Kalau memang asli, kenapa gak ditunjukkan saja? Biar isu selesai,” tulis akun @rahmatan16.
Namun ada juga yang mendukung langkah tim hukum Jokowi.
“Jelas sudah menang di pengadilan, kok masih diributkan? Mau sampai kapan?” tulis akun @andiarkana.
Isu ijazah Jokowi tampaknya masih akan terus menjadi bahan perbincangan, meski pihak kampus dan hukum telah memberikan penjelasan resmi.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok