Repelita Jakarta – Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah mengunggah video monolog berdurasi 6 menit 18 detik melalui akun YouTube pribadinya, @GibranTV.
Video pertama yang diunggah pada 19 April 2025 membahas isu bonus demografi dan tantangan bangsa Indonesia ke depannya.
Namun, video tersebut menuai kritik tajam dari warganet.
Hingga 23 April 2025, video tersebut telah ditonton lebih dari 867.000 kali dengan jumlah dislike mencapai 108.157, sementara jumlah like hanya sekitar 44.000.
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menilai bahwa video tersebut dinilai tidak relevan oleh publik.
Menurut Agung, meskipun isi video tersebut positif, banyak warganet yang merasa pesan yang disampaikan terlalu umum dan tidak memberikan solusi konkret terhadap permasalahan yang diangkat.
Selain itu, pengamat politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, berpendapat bahwa video monolog Gibran merupakan bentuk komunikasi politik ala pemerintah.
Komunikasi semacam itu lumrah sebagai pesan pemerintah kepada masyarakat, namun dalam konteks ini, video tersebut dianggap tidak efektif dalam menyampaikan pesan kepada publik.
Gibran kemudian mengunggah video kedua pada 22 April 2025 yang membahas keberhasilan Timnas Indonesia U-17 lolos ke Piala Dunia.
Langkah ini memicu spekulasi bahwa Gibran tengah mempersiapkan diri untuk Pilpres 2029, terutama karena ia jarang tampil publik meski sudah 6 bulan menjabat wapres.
Pengamat politik Adi Prayitno menilai monolog Gibran sebagai upaya mempertahankan relevansi politik.
Dengan menyasar isu-isu populis, Gibran ingin menunjukkan diri sebagai pemimpin visioner yang layak diperhitungkan di 2029.
Namun, Lili Romli dari BRIN mengingatkan bahwa publik bisa menganggap ini sekadar pencitraan karena perbedaan kualitas penyampaian antara monolog dan pidato langsung.
Meski demikian, jika mendapat respons positif—terutama dari generasi muda—video ini bisa menjadi modal politik bagi Gibran.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Golkar, M. Sarmuji, menanggapi fenomena ini dengan mengatakan bahwa menjadi Wakil Presiden memang terkadang serba salah.
Menurut Sarmuji, jika terlalu maju bisa salah, namun jika tertinggal juga salah.
Ia menilai bahwa Gibran harus bisa menyeimbangkan peran dan tidak terjebak dalam pencitraan semata.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, juga memberikan kritik terhadap pidato monolog Gibran mengenai hilirisasi.
Menurut Fahmy, Gibran tidak memahami akar masalah hilirisasi dan berkhayal tentang hasil fantastis yang mustahil dicapai di Indonesia.
Ia menilai bahwa pemahaman Gibran tentang hilirisasi masih sangat terbatas dan perlu pendalaman lebih lanjut.
Gibran kini menghadapi tantangan besar untuk membuktikan kapasitas dan kredibilitasnya sebagai Wakil Presiden.
Ia harus mampu menjawab keraguan publik dan menunjukkan kinerja yang nyata dalam pemerintahan.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok