
Repelita Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua mantan Direksi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Dwi Wahyudi dan Arif Setiawan, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit. Keduanya diduga menerima fee dari debitur yang memperoleh kemudahan dalam pemberian kredit.
"Memang diterima oleh para direksi LPEI yang memberikan tanda tangan terkait dengan pengusulan kredit tersebut. Kurang lebihnya seperti itu, besarannya antara 2,5 sampai 5 persen dari kredit yang diberikan," kata Plh Direktur Penyidikan KPK, Budi Sokmo, dalam konferensi pers, Senin.
Budi mengungkapkan bahwa fee tersebut disamarkan dengan istilah "uang zakat" dalam proses pencairan kredit.
"Dari keterangan yang kami peroleh dari para saksi, memang ada istilah uang zakat yang diberikan oleh para debitur kepada direksi yang bertanggung jawab terhadap penandatanganan pemberian kredit tersebut," ujarnya.
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan lima tersangka, yaitu Dwi Wahyudi (Direktur Pelaksana I LPEI), Arif Setiawan (Direktur Pelaksana IV LPEI), Jimmy Masrin (Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal/Komisaris Utama PT Petro Energy), Newin Nugroho (Direktur Utama PT Petro Energy), dan Susy Mira Dewi Sugiarta (Direktur PT Petro Energy).
Belum ada tanggapan dari Dwi maupun Arif mengenai sangkaan yang dituduhkan KPK.
KPK sebelumnya telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini, tetapi identitas mereka belum diungkapkan.
Dalam kasus tersebut, LPEI memberikan fasilitas kredit kepada 11 debitur tanpa prosedur yang semestinya, yang berpotensi merugikan negara hingga Rp 11,7 triliun.
"Terjadi benturan kepentingan antara Direktur LPEI dengan debitur, yang menyebabkan mereka melakukan kesepakatan awal untuk mempermudah proses pemberian kredit," ujar Budi.
Direksi LPEI disebut tidak melakukan kontrol terhadap penggunaan kredit, bahkan memerintahkan bawahannya untuk tetap mencairkan dana meskipun debitur tidak memenuhi syarat. Salah satu debiturnya adalah PT Petro Energy (PT PE), yang diduga terlibat dalam penyimpangan fasilitas kredit.
PT PE diduga memalsukan dokumen purchase order dan invoice sebagai dasar pencairan dana, melakukan window dressing terhadap laporan keuangan, serta menggunakan kredit tidak sesuai dengan tujuan yang tertuang dalam perjanjian dengan LPEI.
"Atas pemberian fasilitas kredit kepada PT PE ini, dugaan kerugian negara mencapai 60 juta dolar AS," kata Budi. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok