Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Mahasiswa Tantang Prabowo: Indonesia Gelap atau Cerah di Tangan Pemimpin Baru?

 Indonesia Gelap: Mahasiswa vs Presiden

Repelita, Jakarta - Dulu, ada puisi yang terkenal, bunyinya:

"Mahasiswa takut pada dosen Dosen takut pada dekan Dekan takut pada rektor Rektor takut pada menteri Menteri takut pada presiden Presiden takut pada mahasiswa."

Masih berlakukah sajak penyair senior Taufiq Ismail di atas sekarang ini?

Mahasiswa menuntut ini dan itu, sementara presiden berbicara begini dan begitu. Demonstran menyuarakan "Indonesia Gelap" dalam 13 butir tuntutan, sedangkan presiden membanggakan proyeksi ekonomi global tahun 2050 yang memperkirakan Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia saat negeri ini berusia 100 tahun.

"Kan keren Indonesia di atas Jerman. Di atas Jepang, Inggris. Di atas Prancis. Kok Indonesia gelap?" ucap Presiden Prabowo Subianto di acara penutupan Kongres Partai Demokrat.

"Indonesia akan berhasil jadi negara makmur. Dan yang akan menikmati adalah kalian saudara-saudara yang muda-muda," imbuhnya.

Mahasiswa tidak sedang membicarakan masa depan, melainkan realitas saat ini. Sebagai generasi penerus yang akan mewarisi berbagai masalah bangsa, mereka menyoroti berbagai persoalan yang dianggap mengancam kesejahteraan rakyat. Seperti Greta Thunberg yang berteriak lantang tentang krisis iklim, mahasiswa menyampaikan keresahan mereka melalui tuntutan "Indonesia Gelap".

Salah satu tuntutan utama mereka adalah pendidikan gratis serta pembatalan pemangkasan anggaran pendidikan. Mahasiswa mempertanyakan bagaimana mereka bisa fokus belajar jika Uang Kuliah Tunggal (UKT) terus naik akibat kebijakan efisiensi anggaran.

Isu ini pernah memicu kemarahan mahasiswa pada April hingga Mei 2024, ketika Prabowo masih menjabat Menteri Pertahanan di pemerintahan Jokowi. Kala itu, Peraturan Mendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 mengatur Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi di PTN, yang menyebabkan lonjakan drastis biaya UKT. Salah satu program studi di Universitas Jenderal Soedirman bahkan mengalami kenaikan dari Rp9 juta menjadi Rp52 juta.

Demo yang bermula di Purwokerto merembet ke berbagai kota di Indonesia. Pemerintah akhirnya merespons dengan membatalkan kebijakan tersebut, meskipun hal ini tetap menjadi momok bagi mahasiswa dan orang tua mereka hingga kini.

Di sisi lain, mahasiswa juga menyoroti pemotongan anggaran sebesar Rp306 triliun yang tidak transparan. Mereka mempertanyakan mengapa beberapa kementerian dipangkas besar-besaran, sementara Kementerian Pertahanan, Kepolisian, dan TNI tidak tersentuh kebijakan penghematan.

Sebagian dana tersebut dialihkan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang menuai pro dan kontra. Mahasiswa mempertanyakan urgensi program ini di semua provinsi. Mereka menilai bahwa di beberapa daerah seperti Papua, kebutuhan utama justru adalah pendidikan dan layanan kesehatan gratis, bukan sekadar makanan bergizi.

Karena itu, dalam tuntutan mereka, mahasiswa meminta pencabutan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang mengatur kebijakan "pengetatan ikat pinggang". Mereka menganggap kebijakan ini sebagai ancaman terhadap pendidikan dan kesehatan rakyat.

Mahasiswa juga meminta evaluasi total terhadap program MBG agar pelaksanaannya tepat sasaran dan tidak menjadi alat politik semata. Hal ini sejalan dengan kritik dari berbagai media yang juga menyoroti berbagai masalah dalam implementasi program tersebut.

Menurut logika mahasiswa, Indonesia memang gelap jika berbagai permasalahan ini tidak diatasi. Jika pendidikan semakin mahal dan tidak terjangkau oleh semua kalangan. Jika proyek strategis nasional (PSN) berubah menjadi alat perampasan tanah rakyat. Jika TNI kembali menjalankan peran multifungsi di luar tugas pertahanan yang seharusnya.

Mahasiswa menolak revisi UU TNI yang berpotensi memberi ruang bagi militer untuk kembali berperan dalam jabatan sipil. Mereka mengingatkan bahwa pada era Orde Baru, peran ganda ABRI menyebabkan pemerintahan yang represif dan militeristik. Reformasi telah menghapus dwifungsi ABRI dan mengembalikan militer ke barak, sehingga upaya menghidupkan kembali peran militer dalam pemerintahan menjadi ancaman bagi demokrasi.

Dalam tuntutan mereka, mahasiswa juga menyoroti revisi tata tertib DPR yang memberi wewenang kepada parlemen untuk mengevaluasi pejabat di lembaga independen seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Kepolisian. Ini menimbulkan kekhawatiran akan intervensi politik yang semakin dalam terhadap lembaga-lembaga penegak hukum.

Kecurigaan publik terhadap DPR semakin meningkat setelah insiden perubahan batas usia capres/cawapres oleh MK, yang dianggap menguntungkan pihak tertentu. DPR bahkan pernah mencoba merevisi UU Pilkada secara kilat pada Agustus 2024 untuk merespons putusan MK yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah.

Dalam situasi seperti ini, mahasiswa menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal demokrasi dan menentang segala kebijakan yang dianggap bertentangan dengan kepentingan rakyat.(*)

Editor: 91224 R-ID Elok

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad


Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved