Repelita Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia berencana untuk memaksa pasar internasional mengikuti Harga Batu Bara Acuan (HBA) nasional. Kebijakan ini diambil karena Indonesia menyuplai 35% konsumsi batu bara dunia, sementara harga batu bara internasional masih lebih rendah dibandingkan HBA.
Saat ini, pasar global membeli batu bara Indonesia dengan standar Indonesia Coal Index (ICI) yang disusun oleh PT Coalindo Energy dan Argus Media, lembaga penetapan harga asal Inggris. Harga ICI sendiri cenderung fluktuatif setiap minggu, yang menurut Bahlil perlu disesuaikan agar lebih menguntungkan bagi Indonesia.
Bahlil mengungkapkan bahwa dalam waktu dekat, Direktur Jenderal Minerba akan segera menerbitkan Keputusan Menteri terkait hal tersebut. "Kami akan mempertimbangkan untuk membuat keputusan menteri agar harga HBA itulah yang dipakai untuk transaksi di pasar global," ujar Bahlil dalam konferensi pers Capaian Kinerja Sektor ESDM Tahun 2024 di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (3/2/2025).
Bahlil menegaskan bahwa langkah ini diperlukan untuk menyeimbangkan harga batu bara dalam dan luar negeri. "Masa harga batu bara di negara lain dengan negara kita dibuat lebih murah. Masa harga batu bara kita ditentukan oleh negara tetangga. Jadi kita harus berdaulat dalam menentukan harga komoditasnya sendiri," tegasnya.
Sebagai bentuk tekanan, Bahlil juga mengancam akan mencabut izin ekspor bagi perusahaan yang tidak mau mengikuti kebijakan ini. "Kalau ada perusahaan yang tidak mengikuti itu, maka kami punya cara agar mereka bisa ikut. Bila perlu, kalau tidak mau, ya kita tidak usah (berikan) izin ekspornya," katanya.
Indonesia, lanjut Bahlil, telah mengekspor 555 juta ton batu bara sepanjang 2024, angka yang terus meningkat setiap tahunnya. Total volume batu bara global yang beredar di pasaran saat ini berkisar antara 1,2 hingga 1,5 miliar ton.
"Kita menyuplai kurang lebih sekitar 555 juta ton, itu sama dengan 30-35% dari konsumsi dunia. Jadi batu bara kita ini sangat betul-betul berdampak sistemik, masif, dan terstruktur kalau kita membuat kebijakan untuk terjadi pengetatan ekspor," tutup Bahlil. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok