Repelita Jakarta - Pelibatan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi program Badan Gizi Nasional (BGN) hanya sebatas wacana atau "omon-omon". Hingga saat ini, belum ada langkah nyata yang menunjukkan UMKM dapat terlibat dalam program yang sedang dalam tahap uji coba tersebut.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eisha Maghfiruha Rachbini, mengungkapkan bahwa ia belum pernah mendengar adanya pelaku usaha kelas UMKM, petani, atau nelayan yang dilibatkan dalam program MBG.
"Sejak awal, program MBG ini dirundung berbagai polemik, terutama terkait dengan harga per porsi yang terus turun. Mulai dari Rp20 ribu, kemudian turun menjadi Rp15 ribu, dan kini hanya Rp10 ribu per porsi. Ini menunjukkan bahwa UMKM tidak akan bisa terlibat jika harga terus ditekan," kata Eisha dalam diskusi daring di Jakarta, Senin (27/1/2025).
Eisha menambahkan bahwa hanya pelaku usaha besar yang dapat menjadi vendor dalam program MBG, karena mereka memiliki kemampuan untuk menekan biaya produksi serendah mungkin. "Pengusaha besar dapat memproduksi dalam jumlah besar dan menekan biaya produksi. Sementara itu, UMKM dengan modal terbatas akan kesulitan dengan harga yang terlalu rendah seperti itu," ujarnya.
Padahal, Eisha berpendapat bahwa jika UMKM dilibatkan dalam program MBG, banyak manfaat yang bisa dirasakan negara, mengingat kontribusi UMKM terhadap perekonomian Indonesia cukup besar, yakni 61 persen, dan menyerap 97 persen tenaga kerja Indonesia.
"Pemerintah perlu mencoba melibatkan UMKM dalam program MBG. Jika berhasil, ini bisa menjadi langkah besar dalam mendukung target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diinginkan Presiden Prabowo," tambah Eisha.
Namun, selain masalah keterlibatan UMKM, program MBG yang bertujuan untuk mencegah stunting dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia ini justru dipenuhi oleh nuansa politis.
Program ini, yang seharusnya dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat, malah dijadikan ajang untuk mengamankan posisi pihak-pihak tertentu, seperti yang terlihat dalam pengelolaan Dapur Bergizi Warung Kiara di Bojong Koneng dan Sukabumi yang diduga dibiayai oleh wakil direktur utama bank BUMN dengan aset terbesar.
Lebih parahnya, banyak yayasan yang menjadi vendor dalam program MBG mengeluh karena pembayaran yang tertunda. Akibatnya, 14 yayasan mundur karena tidak mampu menanggung biaya operasional yang tinggi selama masa uji coba program MBG. Jika pembayaran kepada yayasan saja tertunda, pekerja di dapur MBG pun dipastikan mengalami hal yang sama, padahal mereka dibayar jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
Kepala BGN, Dadan Hindayana, sebelumnya menjelaskan alasan tidak melibatkan pengusaha katering dalam program MBG. Menurut Dadan, pengusaha katering lebih fokus pada keuntungan dan tidak memperhatikan kualitas makanan yang disajikan. "Misalnya, jika satu Warung Tegal ditugaskan untuk membuat dan mengirimkan makanan, mereka akan mengutamakan keuntungan," ujar Dadan pada Sabtu (25/1/2025).
Dadan menambahkan, dengan harga bahan pokok yang terus naik, pengusaha katering pasti akan berusaha menekan biaya produksi. Akibatnya, kualitas makanan yang disajikan bisa menurun. "Kami tidak ingin kualitas makanan dalam program MBG terganggu, makanya kami pastikan kualitas gizi dan kebersihan makanan tetap terjaga," tegas Dadan. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok