Repelita Tangerang - Mantan Wakapolri Komjen (Purn) Oegroseno menjelaskan tentang sejumlah Undang-Undang yang dilanggar dalam kasus pagar laut di Tangerang, Banten. Ia menyebut sedikitnya ada tujuh Undang-Undang yang berpotensi dilanggar dalam kasus tersebut.
"Saya melihat beberapa undang-undang yang potensi dilanggar itu cukup banyak," jelasnya dalam kanal YouTube Abraham Samad SPEAK UP.
Undang-Undang pertama yang disebutnya terkait dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, ada pula Undang-Undang Pokok Agraria yang dinilai ikut dilanggar.
"Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009," tambah Oegroseno.
Ia juga menyebut adanya pelanggaran terhadap Undang-Undang tentang Kelautan Nomor 32 Tahun 2014 serta Undang-Undang Cipta Kerja. Selain itu, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 turut masuk dalam daftar aturan yang dilanggar.
Akibat dari berbagai pelanggaran tersebut, Oegroseno menduga pembuatan pagar laut telah memuat unsur gratifikasi dan korupsi.
"Dugaan gratifikasi, ini kan ada korupsinya di sini," jelasnya.
Karena menyangkut banyak Undang-Undang, Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak dapat langsung menangani kasus ini. “Karena ini menyangkut banyak undang-undang, Kejaksaan tidak bisa menangani," tegasnya.
Oegroseno menambahkan bahwa kasus ini juga telah menyentuh beberapa wilayah hukum Polda. Oleh karena itu, ia berharap Kabareskrim Wahyu Widada dapat memimpin penanganan kasus ini.
"Saya berharap Pak Wahyu Widada, Pak Kabareskrim. Karena sudah menyangkut beberapa Polda," pungkasnya.
Berikut adalah uraian tujuh Undang-Undang yang disebut Komjen (Purn) Oegroseno berpotensi dilanggar dalam kasus pagar laut di Tangerang, Banten:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pelanggaran terkait tindak pidana umum yang mungkin mencakup perbuatan merugikan kepentingan publik atau penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum.
2.Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960)
Pelanggaran terhadap hak pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang seharusnya tunduk pada aturan agraria, terutama jika tanah yang terlibat merupakan tanah negara atau tanah yang memiliki peruntukan khusus.
3. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009)
Potensi pelanggaran ini terkait dengan dampak lingkungan yang timbul akibat pembangunan pagar laut tanpa izin atau tanpa studi lingkungan yang memadai.
4. Undang-Undang Kelautan (UU No. 32 Tahun 2014)
Mengatur pengelolaan wilayah laut yang harus tetap memperhatikan kepentingan masyarakat, lingkungan, serta hukum kelautan yang berlaku.
5. Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020)
Pelanggaran ini dapat berkaitan dengan penyederhanaan perizinan yang disalahgunakan dalam pembangunan proyek pagar laut tersebut.
6. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999)
Dugaan gratifikasi dan korupsi terkait dengan proses pembangunan pagar laut yang menyangkut penggunaan anggaran atau penyalahgunaan kewenangan.
7. Undang-Undang tentang Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007)
Pelanggaran dalam penggunaan lahan dan wilayah yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan pemerintah.
Oegroseno menyebut bahwa kompleksitas pelanggaran tersebut menjadi alasan bagi Kejaksaan Agung untuk tidak bisa serta-merta menangani kasus ini, serta mengharapkan Kabareskrim Wahyu Widada dapat memimpin penanganan kasus tersebut.(*).
Editor: 91224 R-ID Elok