:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/4978163/original/006787800_1729706311-WhatsApp_Image_2024-10-23_at_22.54.44_4961c387.jpg)
Jakarta, 8 Desember 2024 – Pakar hukum pidana, Prof. Romli Atmasasmita, menekankan pentingnya pemahaman terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), terutama terkait situasi di mana penyidik tidak menemukan bukti permulaan yang cukup dalam sebuah kasus. Menurutnya, UU Tipikor mengatur jalan keluar untuk menangani kasus dengan bukti yang tidak mencukupi melalui ketentuan Pasal 32 ayat 1.
"Jika penyidik tidak menemukan bukti permulaan yang cukup, namun ada kerugian keuangan negara yang signifikan, maka penyidik wajib melimpahkan perkara tersebut ke Jamdatun (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara) untuk dilanjutkan dengan gugatan perdata," ujar Prof. Romli dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi PT Timah, Jumat (6/12/2024).
Prof. Romli menjelaskan bahwa membuktikan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang dalam praktiknya bukanlah perkara mudah. Oleh karena itu, Pasal 32 UU Tipikor memberikan opsi sebagai "escape clause" untuk kejaksaan dalam menangani kasus-kasus seperti ini.
Gugatan perdata dapat diajukan untuk memulihkan kerugian negara, bukan melalui mekanisme pidana. "Kerugian keuangan negara bukanlah norma pidana, melainkan norma perdata, seperti ganti rugi dalam urusan perbuatan melawan hukum," jelasnya.
Prof. Romli juga menjelaskan perbedaan antara kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara. Kerugian keuangan negara lebih mudah dibuktikan karena didasarkan pada UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Sementara itu, kerugian perekonomian negara lebih sulit dibuktikan karena sifatnya yang fluktuatif dan tidak memiliki batasan yang jelas.
Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, seperti tata niaga timah, Prof. Romli berpendapat bahwa kerugian yang terjadi lebih berkaitan dengan kerugian perekonomian negara. Ia menyatakan bahwa membuktikan adanya kerugian perekonomian negara dalam waktu singkat adalah hal yang sangat sulit dilakukan.
Lebih lanjut, Prof. Romli menyoroti pentingnya dakwaan yang jelas sesuai dengan Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP. Dakwaan yang tidak jelas dapat dianggap kabur dan berpotensi batal demi hukum. "Jika dakwaan tidak menjelaskan peran setiap terdakwa, maka dakwaan tersebut dapat dianggap tidak jelas dan batal demi hukum," tambahnya.
Dalam sidang tersebut, penasihat hukum terdakwa, Marcella Santoso, mengajukan keberatan atas tidak adanya penjelasan konkret mengenai peran 20 terdakwa dalam kasus yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum. Ia menegaskan bahwa penegakan hukum harus berpegang pada asas legalitas, yaitu tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali yang telah diatur dalam undang-undang.(*)
Editor: Elok WA R-ID