Indonesia baru saja menyelenggarakan Pilkada Serentak di ratusan wilayah.
Sayangnya, pesta demokrasi tingkat lokal tersebut menuai sorotan negatif akibat dugaan keterlibatan institusi Polri yang disebut-sebut sebagai "partai coklat" atau "parcok."
Ketua DPP PDIP bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif, Deddy Sitorus, menyampaikan usulan untuk mengembalikan Polri di bawah kendali TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Menurut Deddy, usulan tersebut perlu disetujui oleh DPR RI agar tugas Polri dapat dipersempit hanya pada urusan lalu lintas, patroli untuk menjaga kondusivitas perumahan, dan penyelidikan untuk menangani kasus-kasus kejahatan.
Markas Besar (Mabes) TNI menyatakan tidak ingin gegabah dalam menyetujui atau menolak wacana tersebut. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Hariyanto menyebutkan bahwa TNI menghormati setiap wacana atau diskusi terkait perubahan struktur lembaga negara, termasuk Polri.
TNI berpegang pada Undang-Undang yang mengatur peran dan tugas masing-masing institusi. TNI dan Polri memiliki fungsi yang berbeda namun saling melengkapi. Saat ini, koordinasi antara keduanya berjalan baik dalam menjaga stabilitas keamanan nasional.
Segala perubahan terkait struktur atau koordinasi antar lembaga merupakan kewenangan pemerintah dan DPR. TNI akan mengikuti kebijakan sesuai keputusan resmi negara.
Aktivis Hak Asasi Manusia Usman Hamid menilai wacana tersebut akan memundurkan agenda reformasi jauh ke belakang. Menurutnya, TNI dan Polri memiliki peran yang sangat berbeda. TNI dilatih untuk menghadapi ancaman dari luar negeri, sedangkan Polri berfokus pada pemeliharaan keamanan dalam negeri dan penegakan hukum.
Usman mengingatkan bahwa cita-cita Reformasi adalah untuk memisahkan Polri dari TNI/ABRI, dan mengintegrasikan kedua institusi tersebut akan membuat keduanya kehilangan profesionalisme.
Wacana ini, menurut Usman, semakin memundurkan reformasi yang telah berjalan selama ini. Ia juga menilai bahwa kebebasan sipil yang diperjuangkan pada masa reformasi kini semakin terancam, dengan semakin menyempitnya ruang untuk mengkritik kebijakan dan mengontrol pemerintah.
(*)
Editor: Elok R-ID