Jakarta, 11 Desember 2024 - Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas, menyarankan perlunya adanya kode etik untuk para pendakwah agar tidak mencaci, mengejek, atau menghina jamaah maupun orang lain, seperti yang dilakukan Miftah Maulana kepada pedagang es teh.
Menurut Anwar, hal yang perlu dibahas bukan sertifikasi dai, tetapi kode etik bagi para pendakwah. Ia menegaskan bahwa pelanggaran etik adalah persoalan utama yang harus diperhatikan, bukan sekadar kompetensi atau keahlian seorang dai.
“Jangan sampai para dai ini, dengan mudah mencaci, memaki, mengejek, menghina, karena yang membuat ribut itu sebenarnya adalah pelanggaran terhadap etik, bukan pelanggaran kompetensi dan keahliannya,” kata Anwar dalam program Rakyat Bersuara di iNews TV.
Anwar menilai, kejadian yang melibatkan Miftah tidak berkaitan dengan substansi ceramah, tetapi lebih kepada masalah akhlak dan etika yang dilanggar. Meskipun ia mengakui keahlian agama Miftah, pelanggaran etik menjadi hal yang disoroti.
Di sisi lain, Anwar menyampaikan bahwa proses sertifikasi dai sulit dilakukan karena mazhab yang diikuti setiap pendakwah berbeda-beda. Dengan banyaknya mazhab seperti Maliki, Hanafi, Syafi’i, serta pendakwah yang tidak bermazhab, hal ini membuat penentuan standar pengujian kompetensi menjadi rumit.
“Standarnya mana? Mazhabnya mana? Kalau ormas yang melakukan sertifikasi, ormas lain belum tentu setuju,” ujarnya.
Anwar menyebut bahwa lebih praktis memberikan sertifikat kepada dai daripada melakukan sertifikasi. MUI, katanya, sudah menjalankan program dai bersertifikat yang memberikan wawasan tentang kebangsaan, muamalah, politik, dan ekonomi kepada para pendakwah.
“Di MUI tidak ada sertifikasi dai, tapi ada dai bersertifikat. Kita undang para dai untuk memberikan wawasan tambahan, dan setelah selesai, kita berikan sertifikat. Ini sudah kita lakukan mungkin sudah 60 angkatan,” ucap Anwar.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok