Bandung, 8 Desember 2024 – Pada 7 Desember 2020, enam pengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) terbunuh dalam sebuah operasi penguntitan yang kini dikenal sebagai peristiwa KM 50. Untuk mengenang peristiwa tersebut, sebuah acara Diskusi & Orasi (D&O) diadakan di White House Pekayon, Bandung. Acara ini bertujuan untuk mendorong agar kasus kezaliman yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut segera dibongkar kembali.
Diskusi ini digagas oleh Refly Harun dan didukung oleh sejumlah tokoh politik, termasuk Mayjen Purn Soenarko, Dr. Marwan Batubara, Syekh Yusuf Martak, Azis Yanuar, Eggi Sudjana, Damai Lubis, Munarman, Fikri Bareno, Rustam Effendi, dan lainnya. Hadir pula keluarga korban yang menyampaikan testimoni serta harapan mereka agar penegakan hukum terhadap kasus tersebut dapat dilakukan secara transparan dan adil. Mereka menilai bahwa selama ini proses hukum terkait peristiwa KM 50 terlihat seperti sandiwara yang tidak membawa keadilan.
M Rizal Fadillah, seorang pemerhati politik dan kebangsaan, dalam orasinya menegaskan bahwa peristiwa KM 50 harus ditangani dengan serius oleh pemerintahan yang kini dipimpin oleh Prabowo Subianto. Menurut Rizal, kasus ini tidak hanya melibatkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat, tetapi juga mencoreng reputasi hukum di Indonesia. Ia berharap pemerintahan Prabowo yang baru dapat menangani kasus ini dengan objektivitas dan tanpa intervensi mafia hukum.
Rizal Fadillah mengungkapkan bahwa pembantaian yang terjadi pada peristiwa KM 50 adalah bagian dari upaya sistematis yang dimulai dengan pengintaian pada 4 Desember 2020 di Megamendung dan bahkan sebelum itu. Ia menilai bahwa penargetan terhadap HRS dengan cara tersebut adalah sebuah pelanggaran HAM berat yang seharusnya diselesaikan secara serius oleh aparat negara. Fadillah menyatakan bahwa penuntasan kasus ini tidak boleh terhenti karena adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mengubur kasus tersebut.
"Ini adalah pelanggaran HAM berat, dan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kasus ini harus ditangani dengan serius, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," kata Fadillah dalam orasinya.
Fadillah juga menegaskan pentingnya penanganan kasus KM 50 berdasarkan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang lebih spesifik mengatur tentang penyelesaian pelanggaran HAM berat, daripada mengacu pada UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang lebih umum. Ia menyarankan agar Komnas HAM dan berbagai unsur masyarakat lainnya turut dilibatkan dalam penyelidikan dan pemeriksaan terkait kejadian tersebut. Penyidik utama, menurut Fadillah, harus berasal dari Jaksa Agung yang diharapkan dapat mengusut kasus ini tanpa adanya campur tangan dari pihak-pihak yang berusaha menutupi kebenaran.
Dalam orasinya, Fadillah juga menyoroti sejumlah pejabat yang terlibat dalam peristiwa ini, seperti Budi Gunawan (Kepala BIN), Tito Karnavian (Mendagri), dan Dudung Abdurahman (Kepala Staf Angkatan Darat), yang menurutnya bisa diseret ke pengadilan HAM atas dugaan keterlibatan mereka dalam pelanggaran HAM berat terkait dengan KM 50. Tidak hanya itu, Fadillah juga menyebutkan nama-nama seperti Fadil Imran (Kapolda Metro Jaya) dan mantan Kasatgasus Ferdy Sambo, yang diduga turut berperan dalam operasi penguntitan yang berujung pada pembantaian tersebut.
Sementara itu, meskipun Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat Menteri Pertahanan, tidak terlibat langsung dalam peristiwa tersebut, Fadillah menilai bahwa Prabowo memiliki tanggung jawab moral untuk menyelesaikan kasus ini. HRS bersama sejumlah ulama besar saat itu mendukung Prabowo dalam Pilpres 2019, dan kini, setelah Prabowo terpilih menjadi Presiden, Fadillah berharap agar Prabowo dapat menuntaskan masalah tersebut.
"Prabowo harus membayar hutang moralnya dengan memastikan bahwa kezaliman ini dibongkar. Ini bukan hanya soal hukum, tapi juga soal keadilan dan tanggung jawab moral seorang pemimpin," ujar Fadillah.
Fadillah menekankan bahwa pemerintahan Prabowo tidak boleh membiarkan kasus KM 50 ini terus berlarut-larut tanpa ada penyelesaian yang jelas. Ia memperingatkan bahwa jika tidak ada sikap tegas dari Prabowo dalam menyelesaikan masalah ini, maka pemerintahan yang kini dipimpinnya akan kehilangan kepercayaan publik. Tanpa langkah yang nyata, pemerintahan Prabowo, kata Fadillah, akan dikenang sebagai "Ghost Government" yang terperangkap dalam sejarah kezaliman dan tidak mampu menghadirkan keadilan bagi rakyat.
"Jika pemerintahan Prabowo tidak bertindak tegas, maka akan terbentuk 'Ghost Government' yang mencium bau anyir darah dari kasus KM 50. Pemerintahan ini harus membuktikan bahwa mereka berkomitmen untuk menegakkan hukum yang adil dan berkeadilan," tegasnya.
Rizal Fadillah menutup orasinya dengan seruan kepada Prabowo untuk segera mengambil langkah konkret dalam membongkar kasus KM 50, agar tidak ada lagi bayang-bayang gelap yang menghantui pemerintahan Indonesia.
"Ada KM 50, Pak Prabowo. Pemerintahannya harus segera membuktikan komitmennya untuk menegakkan hukum yang berkeadilan," pungkas Fadillah.(*)
Editor: Elok WA R-ID