Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka korupsi dalam kasus impor gula periode 2015-2016. Penetapan tersangka ini dinilai sebagai pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), karena tidak disertai dengan bukti yang cukup. Pada sidang praperadilan terkait kasus ini, Kejagung tidak dapat menunjukkan bukti yang relevan.
Menurut Kuasa Hukum Tom Lembong, Geisz Chalifah, tim pengacara telah menyerahkan bukti yang lengkap, termasuk hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, Jaksa tidak memberikan bukti perkara yang mendukung penetapan tersangka tersebut. Geisz melalui akun media sosialnya menyatakan bahwa Tom Lembong seolah menjadi target, terlepas dari ada atau tidaknya bukti yang kuat untuk mendalilkan kasus ini.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Chairul Huda, juga menilai penetapan Tom Lembong sebagai tersangka terlalu tergesa-gesa. Ia mengungkapkan bahwa dasar hukum untuk menetapkan tersangka belum cukup kuat, karena belum ada bukti yang jelas terkait kerugian negara yang dapat diverifikasi. Menurut Chairul, klaim kerugian negara sebesar Rp400 miliar yang disampaikan oleh Kejagung pada 9 November 2024, hanya bersifat spekulatif dan belum didukung bukti yang memadai.
Chairul menambahkan bahwa penetapan tersangka dan penahanan terhadap Tom Lembong juga bertentangan dengan Pasal 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang mengatur bahwa penahanan harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Ia menegaskan bahwa langkah ini terkesan prematur, karena bukti yang ada belum menunjukkan adanya kerugian negara yang jelas.(*)