Tax Amnesty Jilid III Masuk Prolegnas Prioritas 2025, Menuai Kontroversi
Pemerintah Indonesia berencana kembali melaksanakan program pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2025. Program ini menjadi bagian dari revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Rencana tax amnesty jilid III ini menuai kritik, terutama karena bersamaan dengan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun yang sama. Banyak pihak menilai langkah ini menciptakan kesenjangan antara golongan masyarakat berpenghasilan tinggi dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Menurut Ekonom Universitas Diponegoro Wahyu Widodo, meskipun tax amnesty dan kenaikan PPN adalah dua hal berbeda, keduanya melibatkan kebijakan perpajakan yang dirasakan tidak adil oleh masyarakat. "Orang kaya mendapat pengampunan pajak, sedangkan rakyat kecil terbebani kenaikan PPN," ujarnya, Rabu (20/11/2024).
Program Tax Amnesty untuk Siapa?
Program tax amnesty sering kali dimanfaatkan oleh wajib pajak berpenghasilan tinggi. Dalam pelaksanaan tax amnesty jilid II tahun 2022, terdapat 11 konglomerat dengan harta di atas Rp1 triliun yang menerima pengampunan pajak.
Di sisi lain, PPN dikenakan terhadap seluruh transaksi barang dan jasa, yang lebih banyak berdampak pada masyarakat kelas menengah dan bawah. Kondisi ini memunculkan kritik di media sosial, di mana masyarakat merasa kebijakan tersebut hanya menguntungkan golongan atas.
Dampak Terhadap Ekonomi
Masyarakat kelas menengah ke bawah saat ini tengah menghadapi tekanan daya beli. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga yang menyumbang 53,08 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus melemah. Pada kuartal III-2024, tingkat konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,91 persen, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 4,93 persen.
Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Moneter Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty, menyebut kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025 berpotensi semakin menekan daya beli masyarakat. "Kebijakan ini harus ditangani dengan sangat hati-hati, karena daya beli masyarakat yang melemah akan berdampak negatif pada konsumsi rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi," tegas Telisa.
Proses Pengusulan di DPR
Ketua Komisi XI DPR RI, Misbakhun, mengakui bahwa usulan untuk memasukkan revisi UU Pengampunan Pajak ke dalam Prolegnas 2025 terjadi secara mendadak. Menurutnya, usulan tersebut baru diketahui saat rapat Komisi XI dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Senin (18/11/2024) malam.
Setelah mengetahui hal ini, Komisi XI mengambil inisiatif menjadi pengusul RUU tersebut. "Sebagai pihak yang bermitra dengan Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak, Komisi XI merasa memiliki pengalaman untuk mengusulkan dan membahas tax amnesty ini," kata Misbakhun.
Ia menambahkan, jika revisi ini menjadi prioritas, Komisi XI akan berperan aktif dalam pembahasan kebijakan yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk memastikan pelaksanaannya tepat sasaran dan tidak menimbulkan ketidakadilan.(*)