Megawati Soroti Dugaan Ketidaknetralan Lembaga Negara dalam Pilkada Serentak 2024
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, mengungkapkan bahwa ia menerima banyak laporan mengenai dugaan ketidaknetralan lembaga negara dalam Pilkada Serentak 2024.
Hal tersebut disampaikan Megawati melalui tayangan video yang diadakan di Kantor DPP PDIP, Jakarta, pada Rabu (20/11/2024).
Megawati menegaskan bahwa Indonesia adalah bangsa besar yang menjunjung tinggi kehormatan, martabat, dan harga diri.
Dia mengaku mendengar laporan bahwa beberapa lembaga negara diduga memaksakan rakyat untuk memilih pasangan calon tertentu dalam Pilkada.
"Saya mendengar begitu banyak laporan terhadap institusi negara yang tidak netral," kata Megawati.
Menurutnya, lembaga-lembaga tersebut mengiming-imingi rakyat dengan bantuan berupa sembako dan uang.
"Mereka memaksakan pasangan calon tertentu dengan berbagai intimidasi dan sekaligus iming-iming sembako gratis bahkan uang. Itu semua adalah bagian dari money politics," ujar Megawati.
Megawati kemudian mengajak seluruh masyarakat untuk meneladani sikap rakyat Ghana, sebuah negara di Afrika Barat, yang menolak berbagai tawaran kekuasaan.
"Bahkan ketika ada yang mencoba menyuap rakyat dengan sembako gratis, mereka berani menolak dan mengatakan yang kami perlukan adalah pendidikan dan sistem kesehatan yang lebih baik serta pekerjaan," ungkap Megawati.
Oleh karena itu, Megawati menyerukan agar Pilkada 2024 dapat dilaksanakan secara jujur, adil, dan demokratis.
"Ingat, mencoblos hanya lima menit, namun dampaknya bisa selama lima tahun. Pilihlah calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan bijak. Pilih yang terbaik, pilihlah yang mampu memberikan jaminan masa depan," tutur Megawati.
Selain itu, Megawati juga meminta seluruh aparatur negara, pejabat negara, kepala desa, dan lurah untuk tidak berpihak kepada pasangan calon tertentu.
Presiden kelima Indonesia ini meminta pejabat negara mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 136/PUU-XII/2024.
Menurut Megawati, pejabat negara, lurah, kepala desa, serta anggota TNI dan Polri yang melanggar ketentuan tersebut dapat dijatuhi hukuman penjara selama 1 hingga 6 bulan atau denda antara Rp 600 ribu hingga Rp 6 juta.(*)