Wakil Ketua Fraksi PKS DPR, Mulyanto, minta Pemerintah membatalkan status Proyek Strategis Nasional (PSN) terhadap Proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2).
Menurut Mulyanto proyek itu milik swasta yang dibangun untuk kepentingan komersil sehingga tidak patut mendapat bantuan APBN.
Ia minta Pemerintah memprioritaskan program lain yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas. Bukan hanya bermanfaat bagi segelintir pengusaha saja.
"Saya heran apa pertimbangan Pemerintah memasukan proyek PIK 2 sebagai PSN. Kalau mau balas budi politik jangan pakai APBN lah. Kasihan masyarakat. Apalagi tanah-tanah masyarakat dilaporkan dibeli paksa dengan harga murah," ujar Mulyanto dalam keterangan yang diterima redaksi, Rabu (25/9).
Ia mendesak Calon Bupati Tangerang dan Calon Gubernur Banten membela kepentingan rakyatnya untuk mampu mendesak Pemerintah membatalkan PSN ini. Isu ini harus menjadi perhatian publik agar Pemerintah tidak semena-mena menetapkan proyek komersil milik swasta sebagai PSN.
Mulyanto menilai penetapan PIK 2 sebagai PSN sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan kelompok bisnis tertentu. Karena itu kebijakan ini harus ditolak agar tidak menjadi pembenaran bagi penyelenggara negara berikutnya.
"Masyarakat harus mengawal isu ini agar DPR dan Pemerintah mengevaluasi penetapan status PSN ini. Hingga selanjutnya membatalkan dan mengganti dengan proyek lain yang lebih penting," tegas Mulyanto seperti dikutip dari rmol
Kritik Keras Said Didu Terkait Proyek PIK 2 Berujung Laporan Polisi, Ratusan Pengacara Siap Bela
Ratusan advokat dari berbagai kantor hukum akan membela Said Didu, yang dilaporkan oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Tangerang ke polisi. Mereka mengecam keras dugaan kriminalisasi terhadap Said Didu dalam menyuarakan aspirasinya.
"Justru Said Didu terancam dikriminalisasi melalui laporan seseorang bernama Maskota yang menurut informasi adalah Ketua Apdesi (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) Kabupaten Tangerang," kata Gufroni saat dihubungi media, Senin 2 September 2024.
Kasus ini bermula saat Muhammad Said Didu melontarkan kritik terhadap dugaan ketidakadilan terhadap rakyat pada implementasi kebijakan Proyek Strategis Nasional PIK 2 (PSN PIK 2) di sembilan kecamatan di Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang.
Proyek perluasan PIK 2 itu diduga akan merambah lahan warga, yang bisa mencapai 100.000 hektare.
Proyek tersebut akan berdampak pada penggusuran ratusan ribu warga.
Gufroni mengklaim, tim kuasa hukum yang berjumlah lebih dari 100 pengacara dari berbagai kantor hukum itu mengecam upaya kriminalisasi terhadap Said Didu.
Mereka dari LBHAP PP Muhammadiya, YLBHI, LBH Jakarta, PBHI, AMAR Law Firm, LBH Syarikat Islam, Themis Indonesia, Ekomarin, FIAN dan Kontras.
"Beliau merupakan seorang tokoh publik dan mantan pejabat negara, yang selama ini secara konsisten menyuarakan ketidakadilan di berbagai daerah, termasuk di PSN PIK 2," ujarnya.
Dia menyebut Said Didu dikenal sebagai figur yang berani mengungkapkan berbagai fakta dan menyuarakan aspirasi rakyat yang terdampak oleh berbagai kebijakan yang tidak adil.
"Salah satu isu yang ia angkat adalah penggusuran lahan di wilayah PIK 2, yang telah menyebabkan ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian mereka. Dalam upaya mempertahankan hak-hak warga negara, Said Didu menyuarakan kritik tajam terhadap proyek ini yang dinilai mengabaikan prinsip keadilan sosial," kata Gufroni.
Said Didu, kata Gufroni, terancam kriminalisasi dengan dalih pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Menurut dia, pelaporan itu sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat.
"Ancaman ini bukan hanya mencederai hak asasi Said Didu sebagai warga negara, tetapi juga mengirimkan sinyal yang menakutkan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa menyuarakan kebenaran dan keadilan dapat berujung pada proses hukum yang menekan," katanya.
Penggunaan UU ITE untuk menjerat Said Didu dinilai sebagai tindakan yang tidak proporsional dan tidak berdasar.
Apa yang disampaikan oleh Said Didu adalah bagian dari hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat dan memperjuangkan keadilan.
"Penggunaan UU ITE untuk membungkam suara kritis ini hanya akan semakin memperburuk citra demokrasi di Indonesia dan menurunkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di negara ini."
Advokat itu meminta agar proses hukum yang adil dan transparan ditegakkan agar aparat penegak hukum tidak digunakan sebagai alat untuk memberangus kritik dan menakut-nakuti para aktivis yang memperjuangkan hak-hak rakyat.
"Negara harus memastikan bahwa kebebasan berpendapat tetap dihormati dan dilindungi, bukan justru menjadi korban kriminalisasi. Kami juga mengajak seluruh elemen masyarakat, organisasi masyarakat sipil, dan media untuk terus mengawal kasus ini dan memberikan dukungan kepada Bapak Said Didu dalam memperjuangkan hak-haknya," ujarnya.***