
Repelita Medan - Tragedi bencana alam yang melanda Pulau Sumatra dengan banjir bandang dan longsor mematikan terus menjadi pusat perhatian masyarakat luas yang menuntut akuntabilitas dari pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab atas degradasi lahan secara masif hingga memicu bencana ekologis tersebut.
Masyarakat menyoroti bahwa penyebab utama krisis ini bukan semata curah hujan ekstrem melainkan akumulasi kerusakan lingkungan akibat konversi lahan hutan alam menjadi perkebunan monokultur yang mengurangi kapasitas penyerapan air dan stabilitas tanah.
Citra satelit sering menampilkan Sumatra sebagai wilayah hijau lebat yang menyesatkan karena warna tersebut mencakup tidak hanya hutan primer tetapi juga perkebunan sawit dan hutan tanaman industri yang tampak serupa dari atas namun gagal berfungsi sebagai penahan erosi dan resapan air hujan.
Komika Fuadh Naim yang melakukan penelusuran langsung di lapangan mengungkap realitas pahit bahwa sebanyak 4,5 juta hektare hutan alam asli di Sumatra telah hilang dan digantikan oleh lahan sawit serta hutan tanaman industri yang dikuasai korporasi besar.
Temuan tersebut sejalan dengan data lembaga lingkungan seperti Walhi yang mencatat deforestasi mencapai 1,4 juta hektare di Aceh Sumatra Utara dan Sumatra Barat sejak 2016 akibat izin usaha dari 631 perusahaan termasuk hak guna usaha sawit dan izin penebangan hutan produksi.
Ekspansi ini tidak hanya memperburuk kerentanan bencana tetapi juga menimbulkan tuntutan moral dan hukum agar pemerintah serta korporasi seperti Royal Golden Eagle yang mengendalikan PT Toba Pulp Lestari segera bertanggung jawab atas restorasi ekosistem dan kompensasi bagi korban yang kehilangan nyawa serta harta benda.
Pemerintah telah berjanji merevisi rencana tata ruang wilayah di 415 kabupaten kota terdampak untuk mengembalikan sebagian lahan sawit menjadi kawasan hutan lindung guna mencegah pengulangan tragedi serupa di masa depan.(*)
Editor: 91224 R-ID Elok

