
Repelita Jakarta - Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta yang menjatuhkan hukuman empat tahun enam bulan penjara kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong menuai kritik tajam dari pakar hukum.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai vonis tersebut keliru karena hakim memasukkan kerugian negara yang sifatnya masih potensi.
Menurut Fickar, kerugian negara harus nyata dan terbukti, bukan sekadar perkiraan kerugian yang belum terjadi.
“Pengertian kerugian negara itu riil, benar-benar ada akibat penyalahgunaan wewenang atau tindakan melawan hukum. Potensial loss itu hanya perkiraan, belum nyata,” kata Fickar pada Senin 21 Juli 2025.
Ia juga menilai majelis hakim kebingungan merumuskan dasar kerugian negara dalam kasus ini, sehingga justru memperlihatkan putusan yang tidak jelas.
Fickar menilai perkara ini lebih tepat disebut mengadili kebijakan, bukan tindak pidana.
Dalam persidangan, hakim menyebut kerugian negara sebesar Rp194,71 miliar berasal dari potensi keuntungan PT PPI Persero yang tidak tercapai akibat izin impor gula.
Namun, perhitungan bea masuk dan pajak impor yang diajukan jaksa senilai Rp320 miliar justru dinyatakan hakim belum pasti dan belum jelas terbukti.
Meski demikian, Tom Lembong tetap dijatuhi hukuman penjara dan denda Rp750 juta subsider enam bulan kurungan.
Fickar menilai kondisi ini berbahaya karena membuka celah politisasi kebijakan dan bisa menjadi preseden buruk bagi pejabat lain.
“Ini ngaco, karena kerugian negara harus riil. Kalau begini, kebijakan apa pun bisa diadili,” tegasnya.
Majelis hakim menjatuhkan hukuman lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung yang sebelumnya menuntut tujuh tahun penjara untuk Tom Lembong. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok

