Breaking Posts

-->
6/trending/recent

Hot Widget

-->
Type Here to Get Search Results !

Reuni Bukan Sekadar Nostalgia, Eks Ketua Kagama Sulsel Sindir Polemik Ijazah: Tunjukkan Saja, Beres

 

Repelita Makassar - Ketua Umum Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Sulawesi Selatan periode 2003 hingga 2007, A. M. Iqbal Parewangi, angkat bicara terkait momen pertemuan alumni Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1985 yang berlangsung pada Sabtu, 26 Juli 2025 lalu.

Dengan gaya tutur yang lugas namun tetap sarat makna, Iqbal mengungkapkan keresahan moralnya sekaligus menyelipkan sindiran halus seputar kontroversi keaslian ijazah Presiden Jokowi yang sampai sekarang masih ramai diperbincangkan publik.

“Sembari menyantap roti berre dengan cocolan palopo durian, saya senyum-senyum melihat serangkaian foto berlabel reuni alumni Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1985 berkelebatan di layar nine-sixteen hp saya,” tulis Iqbal melalui akun Facebook pribadinya yang dikutip pada Kamis, 31 Juli 2025.

Namun Iqbal menuturkan bahwa senyum di wajahnya tidak sepenuhnya bertahan lama karena ia merasa menemukan sejumlah keganjilan pada beberapa foto yang beredar tersebut.

“Yang saya perhatikan justru satu-dua foto yang tidak viral. Tapi gestur mereka teduh dan teguh di balik kaos seragam bernuansa kheki siluet hijau pupus, seperti warna jas almamater UGM yang tidak sekadar teduh, tetapi juga menyiratkan keteguhan pada nilai-nilai keilmuan dan etika yang membumi,” ujar Iqbal lebih jauh.

Meski suasana reuni tampak santai bersama keluarga, obrolan ringan seputar kampus yang kini mendadak mendunia justru membuat Iqbal merenung dalam soal integritas akademik.

“Senyum saya perlahan berubah getir. Di balik keceriaan tragis itu, ada kerinduan pada integritas akademik, pada kampus ndeso yang mendidikkan daulat cinta atas kejujuran intelektual,” lanjutnya.

Dalam refleksinya, Iqbal menyinggung filosofi Jawa “mikul dhuwur mendem jero” yang menekankan penghormatan terhadap jasa seseorang sembari menutupi kekurangannya.

Menurut Iqbal, falsafah tersebut tidak semestinya dijadikan pembungkus kepalsuan.

“Filosofi itu bukan alat pembungkus kebohongan. Kalau disalib-kompas seenaknya, ia akan menjelma absurditas, mikul dhuwur jeroan. Yaitu, meninggi-ninggikan sesuatu yang sebenarnya hanya jeroan buruk, palsu, bahkan najis demi pencitraan semu,” tegas Iqbal.

Dalam konteks temu alumni itu, Iqbal mengingatkan bahwa setiap angkatan tentu saling mengenal dengan baik, sehingga mustahil ada ruang untuk kehadiran ‘calo alumni’ atau alumni dadakan.

“Maka tidak ada ruang bagi calo alumni ataupun alumni impor. Wajar saja jika publik bertanya, apakah seseorang benar-benar pernah kuliah di tahun yang ia klaim?,” sindirnya.

Ia menekankan bahwa yang dituntut publik bukan sekadar membongkar kesalahan pribadi, melainkan menagih akuntabilitas moral dari seorang pemimpin negara.

“Soal mikul dhuwur kejujuran akademik. Apalagi kalau dalam dokumentasi angkatan itu tidak ditemukan jejak figur presiden dua periode tersebut,” sambungnya lagi.

Iqbal juga menyoroti cara keliru dalam meredam isu dengan menggiring opini melalui media, buzzer, atau bahkan menyeret rakyat ke ranah hukum hanya karena bertanya tentang keaslian ijazah.

“Kalau soal keaslian ijazah, itu praktik mikul dhuwur kejujuran yang tidak ruwet. Sangat simpel, cukup tunjukkan saja, clear. Santun tanpa pantun. Tapi maslahatnya luar biasa, nama baik pulih, almamater bersih, rakyat pun adem,” tulisnya.

Menurut Iqbal, kebohongan dalam dokumen akademik bukan hanya persoalan etika pribadi, tetapi bisa menjalar menjadi sumber korupsi sistemik yang melemahkan kepercayaan masyarakat.

Ia juga menyinggung filosofi Bugis-Makassar, siri’ na pacce, yang menempatkan kejujuran dan martabat sebagai harga mati.

“Mengklaim sesuatu yang bukan hak seperti memalsukan ijazah merupakan aib besar (maco’la),” katanya.

Iqbal menambahkan, dalam ajaran Islam Nabi Muhammad SAW juga sudah mengingatkan, “Barang siapa mengaku-ngaku sesuatu yang bukan miliknya, maka ia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim).

Ia menutup catatannya dengan menegaskan bahwa reuni bukan sekadar ajang nostalgia, melainkan juga cermin nurani kolektif untuk membongkar narasi palsu tanpa perlu menebar kebencian.

“Jika tokoh es-em-ka itu memang benar-benar pernah jadi bagian dari angkatan itu, alhamdulillah. Tapi kalau tidak, sejarah akan menulis ulang narasinya bukan demi wani piro?, tapi demi kejujuran para wiro!," tandas Iqbal.(*)

Editor: 91224 R-ID Elok.

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

-->

Below Post Ad

-->

Ads Bottom

-->
Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved