Repelita Jakarta - Mantan pejabat Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, kembali melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan ekonomi nasional.
Kali ini, ia menyoroti kinerja Bank Indonesia yang dinilainya justru membebani rakyat.
Parahhh. Mereka berbisnis dengan memeras rakyat, tulis Said Didu melalui akun X @msaid_didu, 27 Juni 2025.
Ia menyebut situasi tersebut merupakan dampak dari duet kepemimpinan Sri Mulyani dan Perry Warjiyo di masa pemerintahan Jokowi.
Hasil kerja duet Mulyani-Mulyono, cetusnya.
Komentar itu muncul sebagai respons atas data yang diunggah ekonom Awalil Rizky.
Dalam laporannya, Bank Indonesia mencatat pendapatan tahun 2024 sebesar Rp228,67 triliun dengan beban Rp161,32 triliun.
Surplus sebelum pajak yang dihasilkan mencapai Rp67,35 triliun, tertinggi sepanjang sejarah BI.
Namun, Said Didu memandang angka surplus itu bukan prestasi, melainkan bukti tekanan berat pada rakyat akibat kebijakan fiskal dan moneter.
Ia menilai kebijakan ekonomi selama era Jokowi lebih berpihak pada keuntungan negara daripada kepentingan masyarakat.
Di sisi lain, kritik juga datang dari Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan.
Ia secara terbuka menyebut angka pertumbuhan ekonomi era Jokowi sarat kejanggalan dan diduga hasil manipulasi.
Jangankan meroket, pertumbuhan ekonomi 2015 jeblok, hanya 4,88 persen, katanya pada 17 Juni 2025.
Anthony menyatakan bahwa pertumbuhan yang terlalu konsisten di kisaran 5 persen seperti pada 2016 hingga 2019 sangat tidak wajar.
Ia menyebut kestabilan itu mencurigakan dan bertentangan dengan dinamika pasar nyata.
Pertumbuhan ekonomi yang stabil seperti ini, untuk jangka waktu cukup lama, sangat tidak lazim, dan mengundang kecurigaan, tegasnya.
Menurut Anthony, kecurigaan itu diperkuat bila dibandingkan dengan pola pertumbuhan triwulanan Vietnam atau Indonesia sebelum 2014.
Ia menambahkan, para ekonom internasional juga mulai mempertanyakan data ekonomi Indonesia.
Gareth Leather dari Capital Economics bahkan terang-terangan mengaku tidak percaya pada data PDB Indonesia.
Hal serupa dikatakan Trinh Nguyen, ekonom yang berbasis di Hong Kong.
Ia mempertanyakan bagaimana mungkin ekonomi Indonesia bisa tumbuh stabil padahal belanja pemerintah dan investasi melemah.
I don’t know how an economy can grow at the same rate for so long. Gov spending is weak and investment slowing and imports contracting HARD, kutip Anthony.
Anthony kemudian menjelaskan bahwa manipulasi data bisa dilakukan melalui pengaturan angka nominal dan deflator.
Fabrikasi ekonomi cukup dilakukan dengan memanipulasi angka deflator, jelasnya.
Ia menyebut negara lain seperti India dan Argentina juga pernah dicurigai melakukan hal serupa.
Dalam kasus India, mantan penasihat ekonomi Arvind Subramanian menyatakan bahwa angka pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi 2,5 persen dari kenyataan.
Anthony memperkirakan situasi serupa terjadi di Indonesia.
Fabrikasi pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini terlalu tinggi sekitar 2 persen.
Sehingga pertumbuhan ekonomi sebenarnya hanya sekitar 3 persen, bahkan bisa jadi cuma 2,5 persen, pungkasnya. (*)
Editor: 91224 R-ID Elok.